Selasa, 01 Juli 2014

ANALISIS PERENCANAAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN MENGATUR ROKOK, MENCEGAH KEMISKINAN



ANALISIS PERENCANAAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN
MENGATUR ROKOK, MENCEGAH KEMISKINAN


Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa apapun bentuknya, produk-produk tembakau berbahaya bagi kesehatan. Rokok merupakan bentuk produk tembakau yang terbanyak dikonsumsi di dunia, sehingga produk tembakau cenderung identik dengan rokok. Rokok mengandung 4000 elemen dan 200 diantaranya sudah terbukti merugikan kesehatan serta menimbulkan penyakit mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Efek buruk kesehatan tersebut diderita baik oleh perokok itu sendiri maupun orang-orang di sekitarnya (perokok pasif), mulai janin dalam kandungan sampai orang dewasa. Moeloek menyebutkan rokok merupakan salah satu faktor yang berperan dalam road map hancurnya ekonomi keluarga dan hilangnya suatu generasi. Hingga saat ini belum ada penelitian signifikan yang melihat keuntungan merokok bagi kesehatan. Pernah dilaporkan bahwa merokok melindungi pemakainya dari penyakit Alzheimer, tetapi dibantah oleh penelitian lain yang mengemukakan bahwa jarang perokok yang mencapai usia lanjut sehingga terserang Alzheimer.
Beberapa studi mencatat bahwa merokok menurunkan insiden endometriosis pada wanita yang mengalami infertilitas, walau sudah terbukti bahwa merokok meningkatkan angka infertilitas itu sendiri. Beberapa penelitian mengkonfirmasi adanya hubungan terbalik antara merokok dan kejadian penyakit Parkinson. Risiko penyakit Parkinson secara khusus rendah pada perokok aktif dan pada mereka yang mempunyai riwayat merokok jangka panjang secara intensif, bahkan dikatakan penurunan ini berbanding lurus dengan jumlah rokok yang dihisap. Analisis patofisiologi hal tersebut belum jelas, dan harus ada uji klinik acak dan kajian epidemologik dengan uji statistik yang akurat untuk memperkuat hasil penelitian.

Dampak Sosial Ekonomi
Dilihat dari segi ekonomi, rokok memang memberikan kontribusi keuntungan signifikan, yaitu berupa cukai. Pada 2006 pendapatan negara dari cukai rokok mencapai Rp 37,06 triliun. Angka ini diharapkan terus bertambah. Tahun 2007 pemerintah memasang target pendapatan dari cukai Rp 43,54 triliun dan tahun 2008 naik menjadi Rp 49,92 triliun. Belum lagi kontribusi dari sektor pertanian dan tenaga kerja. Beban ekonomi akibat rokok telah dipelajari di beberapa negara seperti Australia, Kanada, Irlandia, Hongkong,Inggris dan Amerika Serikat. Walaupun perkiraan biaya yang didapat sangat bervariasi tergantung faktor-faktor yang diteliti, namun beban ekonomi yang ditimbulkan cukup signifikan, termasuk biaya kesehatan langsung maupun tidak langsung dan kerugian akibat turunnya produktivitas. Sebagai tambahan, tempat kerja yang mengizinkan merokok biasanya membutuhkan biaya renovasi, kebersihan dan pemeliharaan yang lebih tinggi, serta tingginya tingkat risiko kebakaran yang mempengaruhi tingginya premi asuransi yang harus dikeluarkan perusahaan.

Millenium Development Goals
Kesepakatan MDGs atau Millenium Development Goals lahir pada September tahun 2000. Kesepakatan tersebut merupakan komitmen 189 negara anggota Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) termasuk Indonesia untuk memerangi kelaparan dan kemiskinan di seluruh dunia, meningkatkan kesehatan, memajukan pembangunan sumber daya manusia dan mendorong kemajuan ekonomi di negara-negara miskin di dunia. Enam dari delapan kesepakatan yang dituangkan dalam MDGs berkaitan dengan masalah kesehatan menunjukkan pentingnya korelasi antara kesehatan dengan upaya memerangi kemiskinan dan menjamin kelangsungan pembangunan. MDGs meliputi:
1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan.
2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua
3. Mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan
4. Menurunkan tingkat kematian anak.
5. Meningkatkan kesehatan ibu
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain.
7. Menjamin kelestarian lingkungan yang berkelanjutan
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
MDGs merupakan target yang harus dicapai oleh semua anggota pada tahun 2015. Waktu yang telah berlalu begitu cepat juga memacu bahwa harus dilakukan upaya keras dalam pencapaiannya, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia. Semua faktor yang mendukung harus dioptimalkan, dan faktor penghambat harus diminimalisasi atau bahkan dihilangkan. WHO telah menyatakan bahwa terdapat relevansi cukup erat dari rokok sebagai salah satu penghambat pencapaian MDGs. Dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan kelaparan (MDGs 1), tingkat pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh.
Data menunjukkan bahwa justru pada negara-negara miskin jumlah perokok lebih banyak. Pada rakyat miskin, opportunity cost dari tembakau bisa sangat tinggi. Pada beberapa negara seperti Bulgaria, Mesir, Indonesia, Myanmark, dan Nepal, survei tentang pengeluaran rumah tangga menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan rendah menggunakan 5-15% dari pendapatan bersihnya untuk tembakau. Banyak keluarga miskin yang menggunakan lebih banyak uangnya untuk rokok daripada untuk biaya pendidikan atau kesehatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa masyarakat miskin cenderung mengorbankan alokasi belanja bahan kebutuhan pokok keluarga termasuk beras, susu, telur, dan daging agar tetap mempertahankan kebiasaan merokok.
Pada 1999, proporsi belanja makanan pokok keluarga miskin sebesar 28 persen turun menjadi 19 persen pada 2003. Pada periode yang sama, proporsi belanja rokok keluarga miskin justru meningkat, dari 8 menjadi 13 persen.Di Bangladesh, rumah tangga dengan penghasilan kurang dari US$ 24 per minggu merokok dua kali lebih banyak dibandingkan rumah tangga dengan penghasilan lebih tinggi. Di negara yang sama, kelompok miskin menghabiskan dana sepuluh kali lipat untuk rokok dibandingkan untuk pendidikan.
Di negara berkembang, industri dan perkebunan tembakau sering kali mempekerjakan anak-anak usia sekolah. Kemiskinan dan perburuhan anak menjadi alasan kuat untuk tidak menyekolahkan anak. Keluarga miskin juga mengutamakan penggunaan uang untuk rokok daripada untuk pendidikan. Peningkatan pendidikan berkaitan erat dengan perbaikan kondisi ekonomi dan kesehatan.
 (MDGs 2).Gambaran kesuksesan dan rasa percaya diri bagi wanita perokok pernah dikembangkan dalam promosi oleh perusahaan rokok. Estimasi jumlah perokok wanita akan meningkat dari 218 juta pada tahun 2000 menjadi 259 juta pada tahun 2025. Perokok wanita mempunyai dampak yang lebih luas, karena selain terkait dengan risiko pada dirinya, juga bayi yang dikandung, serta anggota keluarga lain. Dalam suatu keluarga, pengetahuan, sikap, dan perilaku seorang ibu berpengaruh besar terhadap status kesehatan keluarga (MDGs 3). Rendahnya status gizi dan kesehatan menjadi penyebab utama tingginya kematian bayi. Penggunaan uang untuk rokok mengurangi kepedulian terhadap kecukupan nutrisi ibu dan anak dan pemeliharaan kesehatannya. Beberapa zat berbahaya yang terkandung dalam rokok bisa melewati sawar darah plasenta sehingga sampai ke janin. Pengaruh bagi kehamilan dan janin antara lain abortus spontan, gangguan persalinan, plasenta previa, lahir mati, abruptio plasenta, dan prematuritas.Wanita perokok atau perokok pasif juga mempunyai risiko lebih besar untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang rentan terhadap masalah kesehatan.
(MDGs 4 dan 5). Merokok meningkatkan kemungkinan timbulnya penyakit lain pada penderita HIV/AIDS, antara lain pneumonia dan demensia akibat AIDS. Rokok juga mempercepat TBC subklinis menjadi TBC klinis, dengan kemungkinan kematian yang lebih tinggi. Di India, merokok mengakibatkan 50% kematian pada penderita TBC.
(MDGs 6) Secara global, pembukaan lahan untuk perkebunan tembakau dengan pembakaran hutan mencapai 200.000 hektar per tahun mencapai 5% dari proses deforestasi di negara berkembang, khususnya yang merupakan produsen besar tembakau seperti Cina, Malawi, dan Zimbabwe. Penggunaan pestisida dalam perawatan tembakau memacu degradasi tanah, dan industri tembakau menghasilkan sampah lebih dari 2,5 milyar kilogram per tahun.
Dalam implementasi upaya pengembang kemitraan global untuk pembangunan (MDG 8), harus dilakukan upaya pengendalian tembakau secara sinergi dari berbagai pihak, sehingga pembangunan kesehatan dan peningkatan kondisi makroekonomi dapat terwujud. Beberapa studi yang didanai oleh Bank Dunia menyimpulkan beberapa fakta penting terkait pentingnya pengendalian tembakau seperti:
1.        Pengendalian tembakau tidak akan memicu Pemutusan Hubungan Kerja secara massif
2.        Pajak produk tembakau akan meningkatkan (bukan menurunkan) pendapatan pemerintah.
3.        Pajak terhadap produk tembakau tidak akan memicu peningkatan bermakna terhadap penyelundupan tembakau
4.        Jika pemasukan dari pajak tembakau menurun, efek positif dari menaikkan pajak produk tembakau terjadi pada rakyat miskin yang lebih sensitif terhadap kenaikan harga dapat dianggap sebagai keuntungan lain yang bermakna.
5.        Kenaikan biaya tembakau bagi pengguna dapat dibenarkan, karena dianggap sebagai biaya sosial/kemasyarakatan mereka dan kenaikan harga tersebut merupakan motivator untuk meninggalkan tembakau.
6.        Pengendalian tembakau sangat efektif dan efisien, dan dapat diusahakan oleh setiap negara, khususnya negara miskin.
Penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pengendalian tembakau ini memberikan hasil cukup bermakna. Di Afrika Selatan, pengendalian tembakau telahditerapkan sejak sekitar tahun 1990 melalui penaikan pajak, mengurangi iklan, pembatasan merokok di tempat umum, serta melakukan promosi kesehatan. Konsumsi tembakau menurun lebih dari 30% pada anak muda dan keluarga miskin. Pemerintah juga mendapatkan keuntungan lebih dari dua kali lipat sebagai akibat penaikan pajak tembakau.


 Rencana Strategi Penanggulangan Rokok Efektif
Sehat adalah hak asasi manusia, begitupun hak untuk menghirup udara bersih yang erat dengan kesehatan. Di sisi lain merokok juga hak setiap orang tetapi melepaskan asap yang berbahaya bagi orang lain bukanlah hak perokok, dan telah mengurangi hak orang lain untuk sehat.Terlepas dari menghakimi perbuatan si perokok, populasi non perokok haruslah dilindungi dari bahaya asap rokok. Beberapa rencana strategi yang direkomendasikan WHO adalah:
1.        Satu-satunya cara yang paling efektif yaitu menghilangkan sumber polusi, dalam hal ini asap rokok, dengan menyediakan lingkungan kerja yang 100% bebas asap rokok. Memberikan area khusus merokok baik dengan ventilasi yang terpisah maupun tidak dengan area bebas rokok tidak menurunkan tingkat risiko paparan asap rokok, dan hal ini sangat tidak dianjurkan
2.        Menetapkan hukum yang menjamin tempat kerja dan sarana publik yang tertutup 100% bebas asap rokok. Hukum harus berlaku universal dan mengikat semua pihak. Hanya kebijakan setempat tidak direkomendasikan karena tidak memberikan perlindungan seperti yang diharapkan.
3.        Penetapan hukum saja tidak cukup, harus disertai pelaksanaan yang tepat dan penegakan secara adekuat.
4.        Strategi penegakan hukum terhadap lingkungan kerja yang bebas asap rokok secara otomatis akan mempengaruhi perilaku seseorang untuk ikut membuat lingkungan rumahnya bebas asap rokok.

 Rencana Strategi Pengendalian Tembakau
FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) atau kerangka kerja konvensi pengendalian tembakau adalah suatu konvensi hukum internasional dalam pengendalian masalah tembakau yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum bagi negara yang meratifikasinya. Naskah FCTC yang merupakan perjanjian global pertama tentang kesehatan masyarakat telah disepakati oleh 192 negara anggota WHO (World Health Organization) dalam sidang Majelis Kesehatan Dunia pada Mei 2003. FCTC harus melalui beberapa tahap agar bisa bermanfaat bagi kesehatan manusia.
Langkah selanjutnya adalah penandatanganan oleh negara peserta. Penandatanganan tidak otomatis mengikat negara untuk meratifikasinya, tetapi hanya menunjukkan negara tersebut serius untuk menentukan posisinya dengan memperhatikan isi FCTC. Batas akhir penandatanganan adalah 29 Juni 2004.
Tahap berikutnya adalah proses ratifikasi yaitu pemerintah dan DPR setuju untuk menindaklanjuti perjanjian yang berkaitan sesuai konstitusi yang berlaku. Pemerintah wajib menyerahkan instrumen ratifikasi kepada sekjen PBB. Dalam jangka waktu 1 tahun setelah perjanjian diundangkan, akan diadakan konferensi negara anggota yang meratifikasi dengan tujuan memonitor dan mengevaluasi penerapan perjanjian di masing-masing negara. Selanjutnya 90 hari setelah minimal 40 negara meratifikasi, FCTC akan menjadi hukum internasional.
Saat ini tercatat 168 negara menan-datangani FCTC dan 57 telah meratifikasinya. FCTC yang terdiri dari 11 bab dan 38 pasal berisi:
1. Kebijakan harga dan Cukai rokok;
2. Iklan, sponsorship dan promosi
3. Pelabelan: peringatan kesehatan dan pernyataan yang menyesatkan
4. Undang-undang udara bersih
5. Pengungkapan dan pengaturan kandungan produk serta
6. Penyelundupan
Di dunia internasional, upaya penanggulangan masalah bahaya merokok di dunia saat ini mengalami kemajuan pesat ditandai dengan diresmikannya FCTC tersebut menjadi hukum internasional pada tanggal 27 Februari 2005.
Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Depatemen Kesehatan, Departemen Luar Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan, Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) ikut secara penuh dalam semua perundingan FCTC dan menjadi anggota drafting committee. Yang menimbulkan pertanyaan adalah fakta bahwa sampai saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang tidak menandatangani FCTC sampai batas penutupan akhir Juni 2004.Tidak seriuskah pemerintah Indonesia melindungi warganya, khususnya generasi muda dari bahaya penyakit yang ditimbulkan akibat asap rokok? Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi kelima di dunia. Jumlah rokok yang dikonsumsi pada tahun 2002 sebanyak 182 milyar batang rokok setiap tahunnya setelah Republik Rakyat China (1 697 291 milyar), Amerika Serikat (463 504 milyar), Rusia (375 000 milyar) dan Jepang (299 085 milyar). Sebanyak 60 % kaum pria dewasa muda di Indonesia adalah perokok. Fenomena ini biasa terjadi di negara berkembang. Di negara maju jumlah pria muda yang merokok terus menurun hingga 30%. Hal tersebut disebabkan kesadaran yang lebih tinggi akan dampak negatif yang ditimbulkan di masa yang akan datang.
Jika penyakit akibat rokok timbul 15-20 tahun kemudian, bisa dibayangkan bahwa Indonesia akan kehilangan 60% produktivitas yang seharusnya dihasilkan oleh pria dewasa. Dengan prediksi tersebut masih sedemikian berat dan takutnyakah pemerintah Indonesia kehilangan keuntungan ekonomi yang dianggap didapatkan dari perkembangan industri rokok di Indonesia?.
Perencanaan Strategis Pengendalian Tembakau di Indonesia
Sebenarnya Indonesia dapat melakukan ekstensifikasi cukai, karena selama ini cukai dipungut hanya terhadap 3 jenis barang yaitu etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol dan hasil tembakau. Dalam rangka ekstensifikasi, Ditjen Bea dan Cukai mencoba memperkenalkan 12 jenis barang kena pajak untuk mendapat masukan dari berbagai pihak. Malaysia mengenakan cukai terhadap 14 jenis barang, Singapura 10 jenis barang, India 28 jenis barang dan Jepang 24 jenis barang. 12 Dengan demikian, ketakutan pembatasan rokok dengan alasan mengurangi pemasukan negara dari cukai rokok seharusnya tidak beralasan.
Penetapan peraturan Menteri Keuangan (Menkeu) No 134/PMK-04/2007 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menkeu No 43/PMK.04/2007 tentang penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau menjadi langkah maju terhadap pengendalian tembakau di Indonesia. Kebijakan ini menetapkan tarif baru cukai rokok, yang rencananya akan mulai diberlakukan mulai 1 Januari 2008. Seperti saat rencana penaikan cukai sebelumnya, selalu terdapat reaksi keras dari para pengusaha rokok. Alasan yang dikemukakan klise, yaitu akan memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat penurunan pangsa pasar dan kemungkinan akan dilakukannya efisiensi dengan mengurangi atau maksimal stagnasi jumlah tenaga kerja karena akan digantikan mesin.
Kita tunggu apakah pemerintah berani merealisasikan keputusan tersebut, mengingat selama ini telah beberapa kali dilakukan penundaan pelaksanaan keputusan sejenis. Pemerintah telah menetapkan kebijakan nasional berupa Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Kebijakan tersebut seakan tidak bermakna karena kurangnya sosialisasi dan tidak adanya sanksi hukum yang jelas bagi pelanggar. Kebijakan regional baru ada di DKI dan Bogor antara lain mengenai pengendalian rokok di tempat kerja di lingkungan pemerintah, pengendalian pencemaran udara dan penetapan kawasan dilarang merokok yang disertai sanksi pidana bagi pelanggarnya. Pemerintah terkesan ragu dalam penegakan hukumnya karena realisasi kebijakan tersebut menimbulkan polemik di masyarakat.

Kebijakan Pemerintah
Dari segi kesehatan, jelas bahwa produk tembakau termasuk rokok lebih banyak memiliki efek negatif daripada positifnya. Jika ditinjau dari segi ekonomi, pendapatan negara yang diterima dari cukai rokok meliputi rata-rata 5% dari total APBN, tetapi sebagai perbandingan beban kesehatan yang diterima akibat rokok mencapai 30-40 triliun, setara bahkan lebih dari cukai yang dibayarkan oleh industri rokok. Jika dilihat dari anggaran kesehatan tahun 2006 yang hanya dialokasikan sebesar 6% dari total APBN, itupun terbagi untuk berbagai program kesehatan pemerintah, maka biaya kesehatan akibat rokok sebagian besar kembali ditanggung sendiri oleh rakyat.
Dari lingkup sosial, industri rokok menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 10 juta angkatan kerja, atau jika dilihat dari jumlah angkatan kerja yang mencapai 100 juta tiap tahunnya, maka jumlah tersebut mengurangi 10% pengangguran. Dilihat dari pihak buruh rokok, penghasilan mereka rata-rata Rp 200 000 sampai 1 juta perbulan. Jika dilihat dari UMR rata-rata pekerja di Pulau Jawa tempat industri rokok paling banyak terdapat-sekitar Rp 350 000-Rp 700 000 (terendah di Jawa Timur dan tertinggi di DKI Jakarta), maka banyak orang tertopang hidupnya dari industri ini. Namun jika mereka digolongkan sebagai masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah, sesuai data yang ada rata-rata rumah tangga mereka juga menghabiskan 10% penghasilan untuk rokok yang seharusnya dapat diutamakan penggunaannya untuk membeli makanan bergizi dan pendidikan anak-anak. Selain itu beban kesehatan otomatis meningkat sebagai manifestasi asap rokok yang terus mengepul di dalam rumah. Walaupun pihak pengusaha rokok menanamkan citra yang benar dalam besarnya tenaga kerja yang dapat diserap, bisa dipahami bahwa rokok belum dapat diklaim meningkatkan kesejahteraan pekerja yang terlibat dalam industri ini. Industri rokok apalagi industri raksasa merupakan aset nasional, apalagi bagi daerah/kota tempat industri tersebut berdiri. Selain merupakan tambang emas bagi kas daerah yang bersangkutan, pembangunan infrastruktur kota biasanya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan pabrik tersebut.
Dampak positif lain yang diberikan adalah penciptaan lapangan kerja, pembinaan olahraga, pemberian beasiswa pendidikan dan penyediaan fasilitas sosial serta fasilitas umum.
Strategi pemasaran industri rokok merupakan tehnik pemasaran tingkat tinggi. Dengan pemenuhan berbagai kebutuhan dasar sampai kebutuhan sosial, masyarakat yang tidak tahu semakin tidak mau tahu bahaya yang mengintai dibalik kerajaan rokok baik untuk diri sendiri maupun orangorang terdekatnya. Tidak hanya masyarakat, pemerintah pun seakan terbuai dengan propaganda keuntungan yang diberikan industri ini sehingga menutup mata terhadap berbagai ancaman bagi warganya baik untuk saat ini maupun beberapa dekade ke depan.
Saat ini telah disusun RUU mengenai Pengendalian Dampak Tembakau, namun belum menjadi agenda prioritas badan legislatif untuk dibahas lebih lanjut. Secara umum masalah kesehatan memang masih dianggap tidak sepenting masalah lain seperti sosial dan ekonomi yang dampaknya langsung terlihat. Masalah tembakau dampak kesehatan, sosial dan ekonominya tidak langsung serta baru akan tampak dalam beberapa dekade ke depan.
Keberanian pemerintah untuk memutuskan kenaikan pajak dari rokok, direncanakan terhitung sejak Januari 2008 merupakan langkah maju. Walaupun mendapat banyak tantangan dari pihak lain, tetapi sebaiknya terus dilakukan edukasi baik untuk masyarakat maupun para pemangku kepentingan lain mengenai dampak positif kebijakan ini.
Kekuatiran banyak beredarnya rokok illegal ataupun meluasnya pemakaian pita cukai palsu dapat dihilangkan dengan pelaksanaan dan penegakan hukum yang tepat. Berbagai studi di banyak negara menunjukkan bahwa peningkatan pajak merupakan salah satu langkah efektif pengendalian dampak rokok, dan ternyata tidak memberikan imbas ekonomi seperti yang ditanamkan selama ini. Hal tersebut menjadi penguat bahwa Indonesia seharusnya lebih tegas dan berani menerapkan kebijakan pengendalian tembakau.
Upaya promotif preventif dengan penetapan kebijakan publik di tingkat nasional maupun daerah disertai upaya sinergi lintas sektor turut mendukung upaya pengendalian dampak tembakau. Promosi kesehatan, dalam masalah rokok khususnya, harus dalam bentuk yang lebih mengena ke masyarakat. Dengan data bahwa masyarakat pedesaan ataupun masyarakat golongan bawah merupakan pengguna terbesar tembakau maka bahasa promosi kesehatan harus disesuaikan dengan target tersebut. Upaya kuratif rehabilitatif dilakukan dengan sosialisasi berbagai cara mengatasi kecanduan merokok, disertai pelatihan/peningkatan SDM untuk melakukan terapi berhenti merokok, mengingat efek adiktif nikotin memang mempersulit berhenti merokok. Pembentukan kelas atau kelompok berhenti merokok bisa menjadi salah satu alternatif.












Daftar Pustaka


Chamim, M. Rokok dan Kemiskinan. Tempo Interaktif 14 Maret. Accessed 21 April 2012. Available at: http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/03/14/brk,2007031495442,id.htl.

International Network of Women Against Tobacco.2006. Turning A New Leaf: Women, Tobacco, and The Future. Sweden: INWAT

Katharine, ME dan Stephen. RL. 2004. The Millennium Development Goals and Tobacco Control. Geneve: WHO Press

Kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi cukai hasil tembakau. Accessed 21 April 2012. Available at: http://www.beacukai. go.id/library/data/Cukai2.htm.

Kenaikan cukai rokok: buruh terancam PHK massal. Kompas 20 November 2007.

Menteri Keuangan Republik Indonesia. Peraturan menteri keuangan no: 134/PMK.04/2007: Tentang perubahan ketiga atas peraturan menteri keuangan nomor 43/PMK.04/2005 tentang penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau, 1 November 2007.

Moeloek, FA. 2006. Kebijakan Publik Yang Berdampak Pada Kesehatan. Konferensi Nasional Promosi Kesehatan ke-4;17-21 Juli 2006; Makasar.

World Health Organization. 2005. WHO Framework Convention on Tobacco Control. Geneva: WHO Press

World Health Organization. 2007. Protection From Exposure to Second-Hand Tobacco Smoke: Policy Recommendations. Geneve:WHO Press

World Health Organization. 2007. World No Tobacco Day: Smoke-Free Inside Create and Enjoy 100% Smoke-Free Environment.Geneva. WHO Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar