Kamis, 24 Juli 2014

TRANSFORMASI LEADERSHIP DALAM PERKEMBANGAN PROFESI KEPERAWATAN GUNA MENDUKUNG PELAYANAN KESEHATAN PARIPURNA



TRANSFORMASI LEADERSHIP DALAM PERKEMBANGAN
PROFESI KEPERAWATAN GUNA MENDUKUNG
PELAYANAN KESEHATAN PARIPURNA

Perubahan bisa terjadi setiap saat, dan merupakan proses yang dinamik serta tidak dapat dielakkan. Berubah berarti beranjak dari keadaan semula. Tanpa berubah tidak ada pertumbuhan dan tidak ada dorongan. Namun dengan berubah dapat terjadi ketakutan, kebingungan, kegagalan dan kebahagiaan. Setiap orang dapat memberikan perubahan pada orang lain. Merubah orang lain dapat bersifat implisit maupun eksplisit atau bersifat tertutup dan terbuka. Kenyataan ini penting khususnya dalam kepemimpinan dan manajemen keperawatan. Pemimpin dalam keperawatan diharapkan dapat menggerakkan sistim dari satu titik ke titik lainnya dalam upaya pemecahan masalah. Maka secara konstan pemimpin harus mengembangkan strategi untuk merubah orang lain dan memecahkan masalah (Purwoko, 1998).
Keperawatan yang sedang berada pada proses profesionalisasi harus terus berusaha membuat dan merencanakan perubahan (Nursalam, 2005). Adaptasi dalam sebuah perubahan menjadi persyaratan kerja dalam keperawatan.
Perubahan, tantangan, dan peluang sedang dihadapi oleh sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Pada era global seperti saat ini, perubahan dalam sistem dan tatanan pelayanan kesehatan telah mempercepat perkembangan lmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) kesehatan. Salah satu dampak dari perkembangan IPTEK kesehatan adalah menjadi tingginya biaya pelayanan dan pemeliharaaan kesehatan.
Tingginya biaya kesehatan ini berdampak negatif terhadap ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang memadai untuk golongan masyarakat menengah ke bawah.
           Salah satu pelaku yang terlibat dalam sistem pelayanan kesehatan adalah tim kesehatan termasuk salah satunya adalah tenaga keperawatan. Tenaga keperawatan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan harus senantiasa memberikan pelayanannya secara kontinyu dan konsisten selama 24 jam (Badiah, 2009). Mereka menghadapi berbagai masalah kesehatan yang dialami oleh pasien atau keluarganya. Disamping itu, mereka juga harus memfokuskan pelayanannya pada keberlangsungan kegiatan pelayanan itu sendiri. Mereka sendiri mengalami berbagai respon fisik dan psikologis yang tidak dapat diabaikan karena akan mempengaruhi kinerjanya sehari-hari. Untuk itu, mereka memerlukan pemimpin yang melalui proses kepemimpinannya mampu mengendalikan, memotivasi, bertindak sebagai layaknya pemimpin yang diharapkan, dan menggali potensi yang dimiliki stafnya untuk dibantu dikembangkan (Nurrachmah, 2005).
Sebagai sebuah profesi, keperawatan dihadapkan pada situasi dimana karakteristik profesi harus dimiliki dan dijalankan sesuai kaidahnya. Sebaliknya, sebagai pemberi pelayanan, keperawatan juga dituntut untuk lebih meningkatkan kontribusinya dalam pelayanan kepada masyarakat yang semakin terdidik, dan mengalami masalah kesehatan yang bervariasi serta respon terhadap masalah kesehatan yang bervariasi pula.
Sehingga pada saat ini menurut Sugijati, et all (2009) sangat diperlukan kepemimpinan yang mampu mengarahkan profesi keperawatan dalam menyesuaikan dirinya di tengah-tengah perubahan dan pembaharuan sistem pelayanan kesehatan. Kepemimpinan tersebut seyogyanya yang fleksible, accessible, dan dirasakan kehadirannya.
Kepemimpinan merupakan seni untuk seorang pemimpin melayani orang lain, memberikan apa yang dimiliki untuk kepentingan orang lain. Sebagai pemimpin, ia menempatkan dirinya sebagai orang yang bermanfaat untuk orang lain. Dalam profesi keperawatan, belum banyak pemimpin keperawatan yang telah memahami secara baik.
            Hal tersebut karena mereka lebih memahami paradigma lama dimana setiap pemimpin yang sedang menjalankan fungsi kepemimpinannya harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang lain dan mereka merasa memiliki hak untuk dilayani. Motivational leadership sebaiknya juga harus  dimiliki oleh setiap pemimpin dalam keperawatan (Tappen, 1995). Situasi saat ini dimana banyak terjadi perubahan dan juga tantangan telah memberikan kecenderungan pada para perawat pelaksana  untuk lebih mudah merasa lelah dan cepat menyerah.
            Untuk itulah diperlukan sosok pemimpin yang mampu secara konsisten memberikan motivasi kepada orang lain dan memiliki kualitas kunci yaitu: meliputi kemampuan akan pengetahuan dan ketrampilan (memimpin dan teknis), mengkomunikasikan ide secara efektif, percaya diri, komitmen tinggi, pemahaman tentang kebutuhan orang lain, memiliki dan mengatur energi, serta kemampuan mengambil tindakan yang dirasakan perlu untuk memenuhi kepentingan orang banyak. 
           Dalam mengantisipasi masa depan, pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya memerlukan kemampuan entrepreuner yang efektif termasuk didalamnya kemampuan bargaining, negosiasi, marketing, penghargaan terhadap keberadaan stakeholder internal maupun eksternal.
Seorang pemimpin keperawatan tidak akan berhasil melakukan fungsinya apabila tidak memiliki kemampuan mengatur waktu, mengendalikan stress baik yang dialaminya maupun orang lain (bawahan), dan juga mengatasi konflik yang terjadi baik internal maupun eksternal, baik individual, maupun kelompok (managing time, stress, and conflict) (Nurrachmah, 2005).
Kepemimpinan dalam keperawatan memerlukan seseorang yang memiliki kriteria tersebut. Hal ini karena dalam kegiatan keseharian, seorang pemimpin sangat memperhitungkan waktu bukan hanya untuk mengatur kegiatan rutin saja, melainkan juga memperhitungkannya ketika pengambilan keputusan penting.
Selain itu, stress kerja pada umumnya dialami banyak karyawan maupun pemimpin karena adanya tekanan dalam berbagai hal mulai dari ketersediaan waktu, keinginan menghasilkan sesuatu yang berkualitas, dan keterbatasan sumber, serta upaya melakukan sinergi positif dari berbagai latar belakang pendidikan dan kemampuan. Untuk itu, setiap pemimpin keperawatan sebaiknya memahami konsep pengendalian stress agar dapat tetap mengarahkan orang yang dipimpinnya ke arah produktifitas yang tinggi
Demikian pula ketika seorang pemimpin melihat terjadinya konflik dalam bekerja, ia sebaiknya memiliki pengetahuan dasar tentang konflik dan pendekatan untuk menyelesaikannya tanpa harus mengorbankan salah satu pihak yang berkonflik.     Kemampuan kepemimpinan yang lainnya melibatkan ketrampilan seorang pemimpin dalam keperawatan dalam menginisiasi perubahan/pembaharuan secara terencana (planned change) (Bondan,2007). Kepemimpinan dalam keperawatan memerlukan seseorang pemimpin yang mampu membawa perubahan/pembaharuan tanpa menimbulkan kecemasan dan ketidakpastian situasi akibat perubahan/pembaharuan tersebut.
             Menurut Nurrachmah (2005) sifat kepemimpinan yang visioner dan futuristic juga sangat diperlukan dalam profesi keperawatan. Hal ini karena pemimpin yang berorientasi ke masa depan dan mengetahui pilihan masa depan yang terbaik untuk bawahannya akan mampu membawa perubahan/pembaharuan ke dalam kehidupan kerja para bawahannya dengan sebaik-baiknya melalui perencanaan yang matang dan waktu yang tepat.
Hal lain yang perlu diperhatikan pula adalah kepemimpinan dalam keperawatan juga harus dilaksanakan secara etikal karena tidak jarang pemimpin perawat menghadapi masalah yang melibatkan keputusan etik sehingga memerlukan kerjasama dengan pihak lain untuk menemukan solusi etik.Pengambilan keputusan yang melibatkan kepentingan pasien dan keluarga sering menuntut pemimpin perawat untuk membuat keputusan etik yang mempertimbangkan norma dan nilai-nilai.
            Dengan kata lain, kepemimpinan dalam keperawatan melibatkan banyak aspek dan unsur yang terkait didalamnya sehingga diperlukan pemimpin yang mampu menjalankan kepemimpinannya bukan hanya mempertimbangkan aspek etik saja tetapi juga pertimbangan visi ke depan dan bagaimana mentransformasikan perubahan dan pembaharuan ke dalam kegiatan harian tanpa menimbulkan kecemasan, ketidak-pastian, dan ancaman bagi yang terlibat didalamnya serta mewujudkan perubahan itu secara terencana, bertahap, namun berhasil guna.Pemimpin seperti ini tentu harus memiliki visi masa depan yang kuat.
          Pada era global saat ini dan era sesudahnya akan banyak terjadi perubahan dalam kehidupan manusia, sistem penyelenggaraan kehidupan manusia, keterbatasan sumber-sumber yang diperlukan dalam kehidupan manusia serta perkembangan ilmu dan teknologi yang tiada henti. Perubahan sikap dan perilaku sumber daya manusia dalam sistem ketenaga-kerjaan juga akan terjadi sebagai dampak dari berbagai perubahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan manusia. Berdasarkan situasi ini, maka dimasa depan diperlukan pemimpin yang handal tapi tangguh yang memiliki berbagai ketrampilan dari mulai memotivasi bawahan sampai kepada menciptakan perubahan.
          Pemimpin keperawatan di masa depan juga harus mampu menciptakan nilai-nilai unggulan yang menjadi karakteristik profesi, dan menyatakan visi yang mampu menjadi inspirasi bagi orang lain. Dalam kepemimpinannya, ia juga harus mampu berbicara dan bertindak strategis sehingga dapat menimbulkan manfaat positif bagi orang yang dipimpinnya. Selanjutnya, banyaknya peluang yang berpotensi terjadi di masa depan mengharuskan pemimpin perawat menentukan arah perubahan yang besar.
          Berdasarkan tantangan yang semakin besar dan kuat terhadap profesi keperawatan ke depan, maka sudah saatnya untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin perawat yang memiliki kepemimpinan yang handal. Untuk melahirkan pemimpin perawat yang baik, memerlukan, bersepakat, merubah pandangan dan cara berpikir.
          Pemimpin   keperawatan juga dituntut memiliki visi ke depan, responsif terhadap tantangan yang mucul dan mampu menggerakan semua sumberdaya dalam organisasi ,tidak hanya bertindak sebagai juru bicara atau pelatih  dalam organisasi tetapi sebagai penentu arah bagi organisasi, dan  sebagai agen perubahan dalam organisasi.
          Proses membangun Profesionalitas seorang perawat tidak terlepas dari peran institusi keperawatan, dimana proses pendidikan disusun berdasarkan kerangka konsep yang kokoh yang meliputi; penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan, menyelesaikan masalah secara ilmiah, sikap dan tingkah laku profesional (Nursalam, 2005).
Lingkungan pelayanan kesehatan pada saat ini telah memberikan peluang pada tenaga keperawatan untuk memperoleh status professional dengan cara proaktif berespon terhadap kebutuhan perubahan dan harapan masyarakat (Azwar, 1996). Sebagai kelompok pemberi pelayanan kesehatan terbesar, profesi ini telah diposisikan untuk mempengaruhi bukan hanya perkembangan sistem tetapi juga bagaimana praktik harus dibentuk dengan mengubah tatanan lapangan pelayanan kesehatan. Proses yang timbal balik ini tentu saja akan mempengaruhi setiap aspek praktik professional dan sangat tergantung dari proses kepemimpinan keperawatan yang terjadi. Lingkungan pelayanan kesehatan pada saat ini telah memberikan peluang pada tenaga keperawatan untuk memperoleh status professional dengan cara proaktif berespon terhadap kebutuhan perubahan dan harapan masyarakat. Sebagai kelompok pemberi pelayanan kesehatan terbesar, profesi ini telah diposisikan untuk mempengaruhi bukan hanya perkembangan sistem tetapi juga bagaimana praktik harus dibentuk dengan mengubah tatanan lapangan pelayanan kesehatan. Proses yang timbal balik ini tentu saja akan mempengaruhi setiap aspek praktik profesional dan sangat tergantung dari proses kepemimpinan keperawatan yang terjadi.
Para perawat yang berada pada posisi kepemimpinan memiliki tanggung jawab yang luas dalam arena pelayanan kesehatan. Hal ini  karena lingkungan pelayanan kesehatan saat ini memberikan banyak peluang untuk perawat memperoleh status professionalnya dengan secara proaktif berespon terhadap kebutuhan masyarakat.
           Keperawatan biasanya menjadi jelas posisinya justru karena ketidak hadirannya dalam daftar kepemimpinan nasional. Banyak masyarakat yang belum mempersepsikan pemimpin perawat memiliki kekuatan dan kekuasaan. Demikian pula sistem pelayanan kesehatan tidak berhasil untuk mengidentifikasi profesi perawat sebagai professional yang memiliki pengetahuan yang bermanfaat untuk membantu menciptakan solusi terhadap masalah kesehatan yang kompleks. Hal ini dapat dimengerti karena selama ini sesuai sejarahnya, banyak perawat yang telah menghindari peluang untuk mengemban kekuatan dan peranan politik di masa lalu.
           Seiring berjalannya waktu, saat ini profesi keperawatan diharapkan mulai memahami bahwa kekuatan dan kekuasaan serta peranan politik telah menjadi salah satu faktor penentu mencapai tujuan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan dan sekaligus meningkatkan otonomi keperawatan. Oleh karena itu, ketika terjadi banyak perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan maka para pemimpin perawat harus berpartisipasi secara aktif dan proaktif untuk mencari jalan bagaimana mempengaruhi pengambil keputusan dalam sistem pelayanan kesehatan dan membuat untuk didengar suaranya oleh mereka. Para pemimpin perawat memiliki kapasitas kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan publik sepanjang mereka memiliki berbagai potensi kepemimpinan.
Menurut Muninjaya (2004), seorang pemimpin keperawatan selayaknya juga dapat memahami perubahan sistem dalam pelayanan kesehatan dan mengidentifikasi berbagai upaya untuk mengembangkan praktik keperawatan dengan mengendalikan faktor yang berpengaruh negatif dan meningkatkan faktor yang berpengaruh positif terhadap praktik keperawatan.
Dengan uraian tentang transformasi atau perubahan leadership dalam keperawatan tersebut, diharapkan profesi keperawatan dapat melakukan perubahan nyata, semakin berkembang, semakin diakui dan dapat memberikan dan menunjukkan kinerja yang  profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna. Apabila telah ada dasar kepemimpinan yang baik dalam  profesi keperawatan maka menurut Mulyaningsih (2011) diharapkan hal tersebut dapat memberikan dampak terhadap seluruh hal, yaitu kepuasan terhadap pelayanan kesehatan secara paripurna akan dapat dirasakan oleh pasien, keluarga dan juga oleh tenaga kesehatan, khususnya perawat.


Daftar Pustaka

Azwar, A.1996. Menuju Pelayanan Kesehatan Yang Lebih Bermutu. Jakarta:   Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia
Badiah, A, et all. “Hubungan Motivasi Perawat Dengan Kinerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Daerah Panembahan Senopati Bantul Tahun 2008”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.Vol.12 juni 2009:75
Bondan.2007. “Leadership Dalam Keperawatan”. Jurnal Keperawatan & Penelitian Kesehatan Mei 2007
Mulyaningsih.2011. “Mutu Pelayanan Kesehatan”. Jurnal Kesehatan Gaster STIKES ‘Aisyiyah Surakarta. Vol. 8 1 Februari 2011
Muninjaya, G. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: EGC
Nurrachmah,E. 2005. Leadership Dalam Keperawatan. http://www.pdpersi.co.id diakses tanggal 20 Sepetember 2011
Nursalam. 2002. Manajemen Keperawatan, Aplikasi Dalam Praktek Keperawatan Profesional.Jakarta: Salemba Medika
Purwoko, S. 1998. Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. Jakarta: EGC
Sugijati, Sajidah, A, dan Dramawan, A. “Analisis Gaya Kepemimpinan Kepala Ruang terhadap Kinerja Perawat Dalam Melakukan Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Mataram”. Jurnal Kesehatan Prima. Vol. 2 Agustus 2008:328-329
Tappen.1995. Nursing Leadership and Management: Concepts & Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company





 

Selasa, 01 Juli 2014

ANALISIS PERENCANAAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN MENGATUR ROKOK, MENCEGAH KEMISKINAN



ANALISIS PERENCANAAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN
MENGATUR ROKOK, MENCEGAH KEMISKINAN


Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa apapun bentuknya, produk-produk tembakau berbahaya bagi kesehatan. Rokok merupakan bentuk produk tembakau yang terbanyak dikonsumsi di dunia, sehingga produk tembakau cenderung identik dengan rokok. Rokok mengandung 4000 elemen dan 200 diantaranya sudah terbukti merugikan kesehatan serta menimbulkan penyakit mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Efek buruk kesehatan tersebut diderita baik oleh perokok itu sendiri maupun orang-orang di sekitarnya (perokok pasif), mulai janin dalam kandungan sampai orang dewasa. Moeloek menyebutkan rokok merupakan salah satu faktor yang berperan dalam road map hancurnya ekonomi keluarga dan hilangnya suatu generasi. Hingga saat ini belum ada penelitian signifikan yang melihat keuntungan merokok bagi kesehatan. Pernah dilaporkan bahwa merokok melindungi pemakainya dari penyakit Alzheimer, tetapi dibantah oleh penelitian lain yang mengemukakan bahwa jarang perokok yang mencapai usia lanjut sehingga terserang Alzheimer.
Beberapa studi mencatat bahwa merokok menurunkan insiden endometriosis pada wanita yang mengalami infertilitas, walau sudah terbukti bahwa merokok meningkatkan angka infertilitas itu sendiri. Beberapa penelitian mengkonfirmasi adanya hubungan terbalik antara merokok dan kejadian penyakit Parkinson. Risiko penyakit Parkinson secara khusus rendah pada perokok aktif dan pada mereka yang mempunyai riwayat merokok jangka panjang secara intensif, bahkan dikatakan penurunan ini berbanding lurus dengan jumlah rokok yang dihisap. Analisis patofisiologi hal tersebut belum jelas, dan harus ada uji klinik acak dan kajian epidemologik dengan uji statistik yang akurat untuk memperkuat hasil penelitian.

Dampak Sosial Ekonomi
Dilihat dari segi ekonomi, rokok memang memberikan kontribusi keuntungan signifikan, yaitu berupa cukai. Pada 2006 pendapatan negara dari cukai rokok mencapai Rp 37,06 triliun. Angka ini diharapkan terus bertambah. Tahun 2007 pemerintah memasang target pendapatan dari cukai Rp 43,54 triliun dan tahun 2008 naik menjadi Rp 49,92 triliun. Belum lagi kontribusi dari sektor pertanian dan tenaga kerja. Beban ekonomi akibat rokok telah dipelajari di beberapa negara seperti Australia, Kanada, Irlandia, Hongkong,Inggris dan Amerika Serikat. Walaupun perkiraan biaya yang didapat sangat bervariasi tergantung faktor-faktor yang diteliti, namun beban ekonomi yang ditimbulkan cukup signifikan, termasuk biaya kesehatan langsung maupun tidak langsung dan kerugian akibat turunnya produktivitas. Sebagai tambahan, tempat kerja yang mengizinkan merokok biasanya membutuhkan biaya renovasi, kebersihan dan pemeliharaan yang lebih tinggi, serta tingginya tingkat risiko kebakaran yang mempengaruhi tingginya premi asuransi yang harus dikeluarkan perusahaan.

Millenium Development Goals
Kesepakatan MDGs atau Millenium Development Goals lahir pada September tahun 2000. Kesepakatan tersebut merupakan komitmen 189 negara anggota Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) termasuk Indonesia untuk memerangi kelaparan dan kemiskinan di seluruh dunia, meningkatkan kesehatan, memajukan pembangunan sumber daya manusia dan mendorong kemajuan ekonomi di negara-negara miskin di dunia. Enam dari delapan kesepakatan yang dituangkan dalam MDGs berkaitan dengan masalah kesehatan menunjukkan pentingnya korelasi antara kesehatan dengan upaya memerangi kemiskinan dan menjamin kelangsungan pembangunan. MDGs meliputi:
1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan.
2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua
3. Mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan
4. Menurunkan tingkat kematian anak.
5. Meningkatkan kesehatan ibu
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain.
7. Menjamin kelestarian lingkungan yang berkelanjutan
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
MDGs merupakan target yang harus dicapai oleh semua anggota pada tahun 2015. Waktu yang telah berlalu begitu cepat juga memacu bahwa harus dilakukan upaya keras dalam pencapaiannya, terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia. Semua faktor yang mendukung harus dioptimalkan, dan faktor penghambat harus diminimalisasi atau bahkan dihilangkan. WHO telah menyatakan bahwa terdapat relevansi cukup erat dari rokok sebagai salah satu penghambat pencapaian MDGs. Dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan kelaparan (MDGs 1), tingkat pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh.
Data menunjukkan bahwa justru pada negara-negara miskin jumlah perokok lebih banyak. Pada rakyat miskin, opportunity cost dari tembakau bisa sangat tinggi. Pada beberapa negara seperti Bulgaria, Mesir, Indonesia, Myanmark, dan Nepal, survei tentang pengeluaran rumah tangga menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan rendah menggunakan 5-15% dari pendapatan bersihnya untuk tembakau. Banyak keluarga miskin yang menggunakan lebih banyak uangnya untuk rokok daripada untuk biaya pendidikan atau kesehatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa masyarakat miskin cenderung mengorbankan alokasi belanja bahan kebutuhan pokok keluarga termasuk beras, susu, telur, dan daging agar tetap mempertahankan kebiasaan merokok.
Pada 1999, proporsi belanja makanan pokok keluarga miskin sebesar 28 persen turun menjadi 19 persen pada 2003. Pada periode yang sama, proporsi belanja rokok keluarga miskin justru meningkat, dari 8 menjadi 13 persen.Di Bangladesh, rumah tangga dengan penghasilan kurang dari US$ 24 per minggu merokok dua kali lebih banyak dibandingkan rumah tangga dengan penghasilan lebih tinggi. Di negara yang sama, kelompok miskin menghabiskan dana sepuluh kali lipat untuk rokok dibandingkan untuk pendidikan.
Di negara berkembang, industri dan perkebunan tembakau sering kali mempekerjakan anak-anak usia sekolah. Kemiskinan dan perburuhan anak menjadi alasan kuat untuk tidak menyekolahkan anak. Keluarga miskin juga mengutamakan penggunaan uang untuk rokok daripada untuk pendidikan. Peningkatan pendidikan berkaitan erat dengan perbaikan kondisi ekonomi dan kesehatan.
 (MDGs 2).Gambaran kesuksesan dan rasa percaya diri bagi wanita perokok pernah dikembangkan dalam promosi oleh perusahaan rokok. Estimasi jumlah perokok wanita akan meningkat dari 218 juta pada tahun 2000 menjadi 259 juta pada tahun 2025. Perokok wanita mempunyai dampak yang lebih luas, karena selain terkait dengan risiko pada dirinya, juga bayi yang dikandung, serta anggota keluarga lain. Dalam suatu keluarga, pengetahuan, sikap, dan perilaku seorang ibu berpengaruh besar terhadap status kesehatan keluarga (MDGs 3). Rendahnya status gizi dan kesehatan menjadi penyebab utama tingginya kematian bayi. Penggunaan uang untuk rokok mengurangi kepedulian terhadap kecukupan nutrisi ibu dan anak dan pemeliharaan kesehatannya. Beberapa zat berbahaya yang terkandung dalam rokok bisa melewati sawar darah plasenta sehingga sampai ke janin. Pengaruh bagi kehamilan dan janin antara lain abortus spontan, gangguan persalinan, plasenta previa, lahir mati, abruptio plasenta, dan prematuritas.Wanita perokok atau perokok pasif juga mempunyai risiko lebih besar untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang rentan terhadap masalah kesehatan.
(MDGs 4 dan 5). Merokok meningkatkan kemungkinan timbulnya penyakit lain pada penderita HIV/AIDS, antara lain pneumonia dan demensia akibat AIDS. Rokok juga mempercepat TBC subklinis menjadi TBC klinis, dengan kemungkinan kematian yang lebih tinggi. Di India, merokok mengakibatkan 50% kematian pada penderita TBC.
(MDGs 6) Secara global, pembukaan lahan untuk perkebunan tembakau dengan pembakaran hutan mencapai 200.000 hektar per tahun mencapai 5% dari proses deforestasi di negara berkembang, khususnya yang merupakan produsen besar tembakau seperti Cina, Malawi, dan Zimbabwe. Penggunaan pestisida dalam perawatan tembakau memacu degradasi tanah, dan industri tembakau menghasilkan sampah lebih dari 2,5 milyar kilogram per tahun.
Dalam implementasi upaya pengembang kemitraan global untuk pembangunan (MDG 8), harus dilakukan upaya pengendalian tembakau secara sinergi dari berbagai pihak, sehingga pembangunan kesehatan dan peningkatan kondisi makroekonomi dapat terwujud. Beberapa studi yang didanai oleh Bank Dunia menyimpulkan beberapa fakta penting terkait pentingnya pengendalian tembakau seperti:
1.        Pengendalian tembakau tidak akan memicu Pemutusan Hubungan Kerja secara massif
2.        Pajak produk tembakau akan meningkatkan (bukan menurunkan) pendapatan pemerintah.
3.        Pajak terhadap produk tembakau tidak akan memicu peningkatan bermakna terhadap penyelundupan tembakau
4.        Jika pemasukan dari pajak tembakau menurun, efek positif dari menaikkan pajak produk tembakau terjadi pada rakyat miskin yang lebih sensitif terhadap kenaikan harga dapat dianggap sebagai keuntungan lain yang bermakna.
5.        Kenaikan biaya tembakau bagi pengguna dapat dibenarkan, karena dianggap sebagai biaya sosial/kemasyarakatan mereka dan kenaikan harga tersebut merupakan motivator untuk meninggalkan tembakau.
6.        Pengendalian tembakau sangat efektif dan efisien, dan dapat diusahakan oleh setiap negara, khususnya negara miskin.
Penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pengendalian tembakau ini memberikan hasil cukup bermakna. Di Afrika Selatan, pengendalian tembakau telahditerapkan sejak sekitar tahun 1990 melalui penaikan pajak, mengurangi iklan, pembatasan merokok di tempat umum, serta melakukan promosi kesehatan. Konsumsi tembakau menurun lebih dari 30% pada anak muda dan keluarga miskin. Pemerintah juga mendapatkan keuntungan lebih dari dua kali lipat sebagai akibat penaikan pajak tembakau.


 Rencana Strategi Penanggulangan Rokok Efektif
Sehat adalah hak asasi manusia, begitupun hak untuk menghirup udara bersih yang erat dengan kesehatan. Di sisi lain merokok juga hak setiap orang tetapi melepaskan asap yang berbahaya bagi orang lain bukanlah hak perokok, dan telah mengurangi hak orang lain untuk sehat.Terlepas dari menghakimi perbuatan si perokok, populasi non perokok haruslah dilindungi dari bahaya asap rokok. Beberapa rencana strategi yang direkomendasikan WHO adalah:
1.        Satu-satunya cara yang paling efektif yaitu menghilangkan sumber polusi, dalam hal ini asap rokok, dengan menyediakan lingkungan kerja yang 100% bebas asap rokok. Memberikan area khusus merokok baik dengan ventilasi yang terpisah maupun tidak dengan area bebas rokok tidak menurunkan tingkat risiko paparan asap rokok, dan hal ini sangat tidak dianjurkan
2.        Menetapkan hukum yang menjamin tempat kerja dan sarana publik yang tertutup 100% bebas asap rokok. Hukum harus berlaku universal dan mengikat semua pihak. Hanya kebijakan setempat tidak direkomendasikan karena tidak memberikan perlindungan seperti yang diharapkan.
3.        Penetapan hukum saja tidak cukup, harus disertai pelaksanaan yang tepat dan penegakan secara adekuat.
4.        Strategi penegakan hukum terhadap lingkungan kerja yang bebas asap rokok secara otomatis akan mempengaruhi perilaku seseorang untuk ikut membuat lingkungan rumahnya bebas asap rokok.

 Rencana Strategi Pengendalian Tembakau
FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) atau kerangka kerja konvensi pengendalian tembakau adalah suatu konvensi hukum internasional dalam pengendalian masalah tembakau yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum bagi negara yang meratifikasinya. Naskah FCTC yang merupakan perjanjian global pertama tentang kesehatan masyarakat telah disepakati oleh 192 negara anggota WHO (World Health Organization) dalam sidang Majelis Kesehatan Dunia pada Mei 2003. FCTC harus melalui beberapa tahap agar bisa bermanfaat bagi kesehatan manusia.
Langkah selanjutnya adalah penandatanganan oleh negara peserta. Penandatanganan tidak otomatis mengikat negara untuk meratifikasinya, tetapi hanya menunjukkan negara tersebut serius untuk menentukan posisinya dengan memperhatikan isi FCTC. Batas akhir penandatanganan adalah 29 Juni 2004.
Tahap berikutnya adalah proses ratifikasi yaitu pemerintah dan DPR setuju untuk menindaklanjuti perjanjian yang berkaitan sesuai konstitusi yang berlaku. Pemerintah wajib menyerahkan instrumen ratifikasi kepada sekjen PBB. Dalam jangka waktu 1 tahun setelah perjanjian diundangkan, akan diadakan konferensi negara anggota yang meratifikasi dengan tujuan memonitor dan mengevaluasi penerapan perjanjian di masing-masing negara. Selanjutnya 90 hari setelah minimal 40 negara meratifikasi, FCTC akan menjadi hukum internasional.
Saat ini tercatat 168 negara menan-datangani FCTC dan 57 telah meratifikasinya. FCTC yang terdiri dari 11 bab dan 38 pasal berisi:
1. Kebijakan harga dan Cukai rokok;
2. Iklan, sponsorship dan promosi
3. Pelabelan: peringatan kesehatan dan pernyataan yang menyesatkan
4. Undang-undang udara bersih
5. Pengungkapan dan pengaturan kandungan produk serta
6. Penyelundupan
Di dunia internasional, upaya penanggulangan masalah bahaya merokok di dunia saat ini mengalami kemajuan pesat ditandai dengan diresmikannya FCTC tersebut menjadi hukum internasional pada tanggal 27 Februari 2005.
Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Depatemen Kesehatan, Departemen Luar Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan, Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) ikut secara penuh dalam semua perundingan FCTC dan menjadi anggota drafting committee. Yang menimbulkan pertanyaan adalah fakta bahwa sampai saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang tidak menandatangani FCTC sampai batas penutupan akhir Juni 2004.Tidak seriuskah pemerintah Indonesia melindungi warganya, khususnya generasi muda dari bahaya penyakit yang ditimbulkan akibat asap rokok? Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi kelima di dunia. Jumlah rokok yang dikonsumsi pada tahun 2002 sebanyak 182 milyar batang rokok setiap tahunnya setelah Republik Rakyat China (1 697 291 milyar), Amerika Serikat (463 504 milyar), Rusia (375 000 milyar) dan Jepang (299 085 milyar). Sebanyak 60 % kaum pria dewasa muda di Indonesia adalah perokok. Fenomena ini biasa terjadi di negara berkembang. Di negara maju jumlah pria muda yang merokok terus menurun hingga 30%. Hal tersebut disebabkan kesadaran yang lebih tinggi akan dampak negatif yang ditimbulkan di masa yang akan datang.
Jika penyakit akibat rokok timbul 15-20 tahun kemudian, bisa dibayangkan bahwa Indonesia akan kehilangan 60% produktivitas yang seharusnya dihasilkan oleh pria dewasa. Dengan prediksi tersebut masih sedemikian berat dan takutnyakah pemerintah Indonesia kehilangan keuntungan ekonomi yang dianggap didapatkan dari perkembangan industri rokok di Indonesia?.
Perencanaan Strategis Pengendalian Tembakau di Indonesia
Sebenarnya Indonesia dapat melakukan ekstensifikasi cukai, karena selama ini cukai dipungut hanya terhadap 3 jenis barang yaitu etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol dan hasil tembakau. Dalam rangka ekstensifikasi, Ditjen Bea dan Cukai mencoba memperkenalkan 12 jenis barang kena pajak untuk mendapat masukan dari berbagai pihak. Malaysia mengenakan cukai terhadap 14 jenis barang, Singapura 10 jenis barang, India 28 jenis barang dan Jepang 24 jenis barang. 12 Dengan demikian, ketakutan pembatasan rokok dengan alasan mengurangi pemasukan negara dari cukai rokok seharusnya tidak beralasan.
Penetapan peraturan Menteri Keuangan (Menkeu) No 134/PMK-04/2007 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menkeu No 43/PMK.04/2007 tentang penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau menjadi langkah maju terhadap pengendalian tembakau di Indonesia. Kebijakan ini menetapkan tarif baru cukai rokok, yang rencananya akan mulai diberlakukan mulai 1 Januari 2008. Seperti saat rencana penaikan cukai sebelumnya, selalu terdapat reaksi keras dari para pengusaha rokok. Alasan yang dikemukakan klise, yaitu akan memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat penurunan pangsa pasar dan kemungkinan akan dilakukannya efisiensi dengan mengurangi atau maksimal stagnasi jumlah tenaga kerja karena akan digantikan mesin.
Kita tunggu apakah pemerintah berani merealisasikan keputusan tersebut, mengingat selama ini telah beberapa kali dilakukan penundaan pelaksanaan keputusan sejenis. Pemerintah telah menetapkan kebijakan nasional berupa Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Kebijakan tersebut seakan tidak bermakna karena kurangnya sosialisasi dan tidak adanya sanksi hukum yang jelas bagi pelanggar. Kebijakan regional baru ada di DKI dan Bogor antara lain mengenai pengendalian rokok di tempat kerja di lingkungan pemerintah, pengendalian pencemaran udara dan penetapan kawasan dilarang merokok yang disertai sanksi pidana bagi pelanggarnya. Pemerintah terkesan ragu dalam penegakan hukumnya karena realisasi kebijakan tersebut menimbulkan polemik di masyarakat.

Kebijakan Pemerintah
Dari segi kesehatan, jelas bahwa produk tembakau termasuk rokok lebih banyak memiliki efek negatif daripada positifnya. Jika ditinjau dari segi ekonomi, pendapatan negara yang diterima dari cukai rokok meliputi rata-rata 5% dari total APBN, tetapi sebagai perbandingan beban kesehatan yang diterima akibat rokok mencapai 30-40 triliun, setara bahkan lebih dari cukai yang dibayarkan oleh industri rokok. Jika dilihat dari anggaran kesehatan tahun 2006 yang hanya dialokasikan sebesar 6% dari total APBN, itupun terbagi untuk berbagai program kesehatan pemerintah, maka biaya kesehatan akibat rokok sebagian besar kembali ditanggung sendiri oleh rakyat.
Dari lingkup sosial, industri rokok menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 10 juta angkatan kerja, atau jika dilihat dari jumlah angkatan kerja yang mencapai 100 juta tiap tahunnya, maka jumlah tersebut mengurangi 10% pengangguran. Dilihat dari pihak buruh rokok, penghasilan mereka rata-rata Rp 200 000 sampai 1 juta perbulan. Jika dilihat dari UMR rata-rata pekerja di Pulau Jawa tempat industri rokok paling banyak terdapat-sekitar Rp 350 000-Rp 700 000 (terendah di Jawa Timur dan tertinggi di DKI Jakarta), maka banyak orang tertopang hidupnya dari industri ini. Namun jika mereka digolongkan sebagai masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah, sesuai data yang ada rata-rata rumah tangga mereka juga menghabiskan 10% penghasilan untuk rokok yang seharusnya dapat diutamakan penggunaannya untuk membeli makanan bergizi dan pendidikan anak-anak. Selain itu beban kesehatan otomatis meningkat sebagai manifestasi asap rokok yang terus mengepul di dalam rumah. Walaupun pihak pengusaha rokok menanamkan citra yang benar dalam besarnya tenaga kerja yang dapat diserap, bisa dipahami bahwa rokok belum dapat diklaim meningkatkan kesejahteraan pekerja yang terlibat dalam industri ini. Industri rokok apalagi industri raksasa merupakan aset nasional, apalagi bagi daerah/kota tempat industri tersebut berdiri. Selain merupakan tambang emas bagi kas daerah yang bersangkutan, pembangunan infrastruktur kota biasanya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan pabrik tersebut.
Dampak positif lain yang diberikan adalah penciptaan lapangan kerja, pembinaan olahraga, pemberian beasiswa pendidikan dan penyediaan fasilitas sosial serta fasilitas umum.
Strategi pemasaran industri rokok merupakan tehnik pemasaran tingkat tinggi. Dengan pemenuhan berbagai kebutuhan dasar sampai kebutuhan sosial, masyarakat yang tidak tahu semakin tidak mau tahu bahaya yang mengintai dibalik kerajaan rokok baik untuk diri sendiri maupun orangorang terdekatnya. Tidak hanya masyarakat, pemerintah pun seakan terbuai dengan propaganda keuntungan yang diberikan industri ini sehingga menutup mata terhadap berbagai ancaman bagi warganya baik untuk saat ini maupun beberapa dekade ke depan.
Saat ini telah disusun RUU mengenai Pengendalian Dampak Tembakau, namun belum menjadi agenda prioritas badan legislatif untuk dibahas lebih lanjut. Secara umum masalah kesehatan memang masih dianggap tidak sepenting masalah lain seperti sosial dan ekonomi yang dampaknya langsung terlihat. Masalah tembakau dampak kesehatan, sosial dan ekonominya tidak langsung serta baru akan tampak dalam beberapa dekade ke depan.
Keberanian pemerintah untuk memutuskan kenaikan pajak dari rokok, direncanakan terhitung sejak Januari 2008 merupakan langkah maju. Walaupun mendapat banyak tantangan dari pihak lain, tetapi sebaiknya terus dilakukan edukasi baik untuk masyarakat maupun para pemangku kepentingan lain mengenai dampak positif kebijakan ini.
Kekuatiran banyak beredarnya rokok illegal ataupun meluasnya pemakaian pita cukai palsu dapat dihilangkan dengan pelaksanaan dan penegakan hukum yang tepat. Berbagai studi di banyak negara menunjukkan bahwa peningkatan pajak merupakan salah satu langkah efektif pengendalian dampak rokok, dan ternyata tidak memberikan imbas ekonomi seperti yang ditanamkan selama ini. Hal tersebut menjadi penguat bahwa Indonesia seharusnya lebih tegas dan berani menerapkan kebijakan pengendalian tembakau.
Upaya promotif preventif dengan penetapan kebijakan publik di tingkat nasional maupun daerah disertai upaya sinergi lintas sektor turut mendukung upaya pengendalian dampak tembakau. Promosi kesehatan, dalam masalah rokok khususnya, harus dalam bentuk yang lebih mengena ke masyarakat. Dengan data bahwa masyarakat pedesaan ataupun masyarakat golongan bawah merupakan pengguna terbesar tembakau maka bahasa promosi kesehatan harus disesuaikan dengan target tersebut. Upaya kuratif rehabilitatif dilakukan dengan sosialisasi berbagai cara mengatasi kecanduan merokok, disertai pelatihan/peningkatan SDM untuk melakukan terapi berhenti merokok, mengingat efek adiktif nikotin memang mempersulit berhenti merokok. Pembentukan kelas atau kelompok berhenti merokok bisa menjadi salah satu alternatif.












Daftar Pustaka


Chamim, M. Rokok dan Kemiskinan. Tempo Interaktif 14 Maret. Accessed 21 April 2012. Available at: http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/03/14/brk,2007031495442,id.htl.

International Network of Women Against Tobacco.2006. Turning A New Leaf: Women, Tobacco, and The Future. Sweden: INWAT

Katharine, ME dan Stephen. RL. 2004. The Millennium Development Goals and Tobacco Control. Geneve: WHO Press

Kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi cukai hasil tembakau. Accessed 21 April 2012. Available at: http://www.beacukai. go.id/library/data/Cukai2.htm.

Kenaikan cukai rokok: buruh terancam PHK massal. Kompas 20 November 2007.

Menteri Keuangan Republik Indonesia. Peraturan menteri keuangan no: 134/PMK.04/2007: Tentang perubahan ketiga atas peraturan menteri keuangan nomor 43/PMK.04/2005 tentang penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau, 1 November 2007.

Moeloek, FA. 2006. Kebijakan Publik Yang Berdampak Pada Kesehatan. Konferensi Nasional Promosi Kesehatan ke-4;17-21 Juli 2006; Makasar.

World Health Organization. 2005. WHO Framework Convention on Tobacco Control. Geneva: WHO Press

World Health Organization. 2007. Protection From Exposure to Second-Hand Tobacco Smoke: Policy Recommendations. Geneve:WHO Press

World Health Organization. 2007. World No Tobacco Day: Smoke-Free Inside Create and Enjoy 100% Smoke-Free Environment.Geneva. WHO Press