Jumat, 19 Agustus 2016

TEAM WORK


lets choose...good team work or bad team work...

BELAJAR TENTANG KEPEMIMPINAN


TEORI OREM


                                                                TEORI OREM
 

A.    PENGERTIAN
Keperawatan mandiri (self care) menurut Orem's adalah "Suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai dengan keadaan, baik sehat maupun sakit " (Orem's, 1980).
Pada dasarnya diyakini bahwa semua manusia itu mempunyai kebutuhan-kebutuhan self care dan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kebtuhan itu sendiri, kecuali bila tidak mampu.

B.     SISTEM KEPERAWATAN OREM
Teori keperawatan Orem disebut sebagai teori defisit perawatan diri, pertama kali dipublikasikan tahun 1971 dan dihasilkan dari rapat kerja Nursing Development Conference Group. Teori ini terdiri dari artikulasi teori perawatan diri, defisit perawatan diri dan sistem keperawatan.
1.      Perawatan diri
Teori perawatan diri didasarkan pada empat konsep yaitu perawatan diri, agensi perawatan diri, syarat perawatan diri dan tuntutan perawatan diri terapeutik.
a.    Perawatan diri
Mengacu pada aktivitas yang dilakukan individu secara mandiri sepanjang hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan kesejahteraan pribadi.
b.    Agensi diri
Kemampuan individu untuk melakukan aktivitas perawatan diri. Agensi perawatan diri terdiri dari dua agen yaitu agen perawatan diri (individu yang melakukan perawatan diri secara mandiri) dan agen perawatan dependen (orang lain yang memberikan pada individu)
c.    Syarat perawatan diri
Disebut juga kebutuhan perawatan diri  yaitu tindakan yang dilakukan untuk mengatur fungsi dan perkembangan. Ada tiga kategori kebutuhan perawatan diri :
1)   Kebutuhan universal yaitu umum untuk semua orang, mencakup asupan dan eliminasi udara, air, makanan, dan istirahat seimbang, menyendiri, interaksi social, pencegahan bahaya terhadap kehidupan dan kesejahteraan, meningkatkan fungsi manusia normal.
2)   Kebutuhan perkembangan, dihasilkan dari kedewasaan dan dikaitkan dengan tahap perkembangan atau kondisi atau kejadian. Contoh : penyesuaian terhadap citra tubuh atau terhadap kehilangan pasangan
3)   Kebutuhan deviasi kesehatan, disebabkan karena kondisi sakit, cedera, atau penyakit atau terapinya, mencakup tindakan pencarian bantuan perawatan kesehatan, pelaksanaan terapi yang diprogramkan dan belajar untuk hidup dengan efek yang ditimbulkan oleh kondisi sakit atau terapi.
d.   Tuntutan perawatan diri terapeutik mengacu pada semua aktivitas perawatan diri yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pada situasi dan kondisi tertentu, seperti kondisi sakit.
2.      Defisit perawatan diri
Teori defisit perawatan diri menyatakan bahwa orang mendapatkan manfaat dari keperawatan karena memiliki keterbatasan yang terkait dengan kesehatan dalam hal melakukan perawatan diri. Keterbatasan dapat disebabkan oleh kondisi sakit, cedera atau akibat efek pemeriksaan atau terapi medis. Dua variabel yang mempengaruhi defisit perawatan diri antara lain :
      Agensi perawatan diri (kemampuan)
      Tuntutan perawatan diri terapeutik (tindakan perawatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang ada)
Defisit perawatan diri terjadi pada saat agensi perawatan diri tidak adekuat untuk memenuh tuntutan perawatan diri yang ada. Teori deficit perawatan diri Orem menjelaskan tidak hanya pada saat keperawatan diperlukan , tetapi juga bagaimana orang dapat dibantu melalui lima metode pemberian bantuan bertindak atau melaksanakan untuk, memandu, mengajarkan, mendukung dan menciptakan lingkungan yang meningkatkan kemampuan individu untuk memenuhi tuntutan saat ini dan di masa yang akan datang.
Teori self care deficit diterapkan bila ;
a.       Anak belum dewasa
b.      Kebutuhan melebihi kemampuan perawatan
c.       Kemampuan sebanding dengan kebutuhan tetapi diprediksi untuk masa yang akan datang, kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan kebutuhan.

3.      Sistem Keperawatan
Orem mengidentifikasi tiga tipe sistem keperawatan :
a.    Sistem kompensasi keseluruhan
Sistem ini diperlukan untuk individu yang tidak mampu mengontrol dan memntau lingkungan mereka serta memproses informasi
b.    Sistem kompensasi sebagian
Sistem ini dirancang untuk individu yang tidak mampu melakukan beberapa aktivitas perawatan diri.
c.    Sistem suportif-edukatif (perkembangan)
Sistem ini dirancang untuk seseorang yang perlu belajar melakukan tindakan perawatan diri dan membutuhkan bantuan.

Fokus dalam ketiga teori Orem adalah perawatan diri yang didefinisikan sebagai “praktik atau aktivitas individu memulai dan menunjukkan keperluan mereka sendiri dalam memelihara hidup, kesehatan dan kesejahteraan (Orem, 1985). Perawatan diri tidak terbatas pada seseorang yang memberikan perawatan untuk dirinya sendiri ; hal ini termasuk perawatan yang ditawarkan orang lain untuk keperluan orang lain. Perawatan mungkin ditawarkan oleh anggta keluarga atau orang lain hingga orang tersebut mampu untuk melakukan perawatan diri. Perawatan diri mempunyai tujuan dan berperan terhadap integritas structural, fungsi dan perkembangan manusia (Orem, 1985). Tujuan yang ingin dicapai adalah keperluan universal, perkembangan dan perawatan kesehatan akibat penyimpangan kesehatan.
Ketiga tipe keperluan perawatan diri yang dikemukakan Orem adalah universal, perkembangan dan penyimpangan kesehatan. Dengan focus keperawatan adalah pada pengidentifikasian kebutuhan perawatan diri, perancangan metode dan tindakan untuk memenuhi kebutuhan serta totalitas kebutuhan untuk tindakan keperawatan.

C.    KEYAKINAN DAN NILAI – NILAI
Kenyakianan Orem's tentang empat konsep utama keperawatan adalah :
1.      Klien : individu atau kelompok yang tidak mampu secara terus menerus memperthankan self care untuk hidup dan sehat, pemulihan dari sakit atau trauma atu koping dan efeknya.
2.      Sehat : kemampuan individu atau kelompoki memenuhi tuntutatn self care yang berperan untuk mempertahankan dan meningkatkan integritas structural fungsi dan perkembangan.
3.      Lingkungan : tatanan dimana klien tidak dapat memenuhi kebutuhan keperluan self care dan perawat termasuk didalamnya tetapi tidak spesifik.
4.      Keperawatan : pelayanan yang dengan sengaja dipilih atau kegiatan yang dilakukan untuk membantu individu, keluarga dan kelompok masyarakat dalam mempertahankan self care yang mencakup integritas struktural, fungsi dan perkembangan.

D.    TUJUAN
Tujuan keperawatan pada model Orem"s secara umum adalah :
1.      Menurunkan tuntutan self care pada tingkat dimana klien dapat memenuhinya, ini berarti menghilangkan self care defisit.
2.      Memungkinkan klien meningkatkan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan self care.
3.      Memungkinkan orang yang berarti (bermakna) bagi klien untuk memberikan asuhan dependen jika self care tidak memungkinkan, oleh karenanya self care defisit apapun dihilangkan.
Jika ketiganya diatas tidak tercapai, perawat secara langsung dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan self care klien.Tujuan keperawatan pada model Orem's yang diterapkan kedalam praktek keperawatan keluarga / komunitas adalah :
1.      Menolong klien dalam hal ini keluarga untuk keperawatan mandiri secara terapeutik
2.      Menolong klien bergerak kearah tidakan-tidakan asuhan mandiri
3.      Membantu anggota keluarga untuk merawat anggota keluarganya yang mengalami gangguan secara kompeten.
Dengan demikian maka fokus asuhan keperawatan pada model orem's yang diterapkan pada praktek keperawatan keluaga/komunitas adalah:
1.      Aspek interpersonal : hubungan didalam kelurga
2.      Aspek sosial : hubungan keluarga dengan masyarakat disekitarnya.
3.      Aspek prosedural ; melatih ketrampilan dasar keluarga sehingga mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi
4.      Aspek tehnis : mengajarkan kepada keluarga tentang tehnik dasar yang dilakukan di rumah, misalnya melakukan tindakan kompres secara benar

PEMBAHASAN

      Teori orem menyajikan tentang konsep perawatan diri dimana yang dimaksudkan adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa secara berkelanjutan demi kesejahteraan, peningkatan taraf hidup dan kesehatan seseorang. Berdasarkan dari sebuah konsep teori orem tersebut, banyak digunakan untuk diaplikasikan kepada sekelompok orang tuna wisma. Kesehatan tuna wisma juga seharusnya mendapatkan perhatian tidak hanya dari pemerintah melainkan dari warga sekitar dan juga petugas kesehatan. Masalah utama dari kesehatan tunawisma ini adalah kebanyakan berupa defisit perawatan diri, sehingga dalam hal ini kelompok mencoba untuk mengaplikasikan teori orem dalam manajemen asuhan keperawatan pada masalah defisit perawatan diri untuk tuna wisma.
Teori keperawatan Orem mengacu kepada bagaimana individu memenuhi kebutuhan dan menolong keperawatannya sendiri atau memaksimalkan kemampuan tunawisma dalam melakukan perawatan diri. Memaksimalkan dapat diartikan bahwa tidak semua individu dapat mencapai kemampuan perawatan diri secara mandiri. Untuk memaksimalkan kemampuan tunawisma dalam melakukan perawatan diri diperlukan pemberdayaan sehingga individu yang bersangkutan mampu memberdayakan perawatan dirinya secara optimal sesuai dengan kemampuannya.
Menurut Orem, perawatan merupakan fokus khusus pada manusia yang membedakan keperawatan dari pelayanan masyarakat lainnya. Dari sudut pandang ini, peran keperawatan dalam masyarakat tunawisma adalah untuk memampukan individu dalam mengembangkan dan melatih kemampuan perawatan diri mereka agar mereka dapat memenuhi kebutuhan perawatan yang berkualitas dan memadahi pada diri mereka sendiri.

1.        Kebutuhan Perawatan Diri pada Tuna Wisma
Kebutuhan perawatan diri bagi para tuna wisma merupakan hal yang tidak dapat dielakkan mengingat kondisi minimnya perlindungan dari segi fisik dan psikologis bagi mereka. Ditinjau dari jenis kebutuhan perawatan diri Orem, tuna wisma mempunyai semua jenis kebutuhan yang ada.
Kebutuhan perawatan diri universal dibutuhkan oleh semua tuna wisma sebagai manusia. Mulai dari kebutuhan udara, cairan, nutrisi, eliminasi, istirahat-aktivitas, menyendiri dan interaksi sosial, serta pencegahan dari bahaya. Kondisi tuna wisma membuat kebutuhan-kebutuhan perawatan tersebut terganggu. Udara jalanan yang penuh dengan polusi, air yang kotor, makanan yang kurang higienis, tempat eliminasi, interaksi sosial yang keras, serta bahaya-bahaya fisik dan psikologis yang ditemui di jalanan merupakan kebutuhan yang menjadi perhatian penting perawat.
Kebutuhan perawatan diri perkembangan disesuaikan dengan tahap perkembangan individu dan keluarga. Misalnya tahap perkembangan bayi baru lahir hingga lansia sebagai individu, atau tahap perkembangan keluarga pasangan baru menikah hingga keluarga dengan lansia. Tahap perkembangan ini perlu diperhatikan karena masing masing tahap perkembangan pada tuna wisma mempunyai karakteristik misalnya anak jalanan yang sudah terbiasa bebas dan tidak ingin terikat membutuhkan strategi untuk menanamkan nilai-nilai dalam diri mereka. Gagalnya memenuhi tugas perkembangan akan mempengaruhi tahap perkembnagan selanjutnya. 
Kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan diperlukan sesuai dengan kondisi-kondisi masalah yang banyak ditemui pada tuna wisma. Misalnya masalah anemia, malnutrisi, penyakit kulit, infeksi telinga, gangguan mata, masalah gigi, infeksi saluran pernafasan atas, dan masalah gastrointestinal. Masalah kesehatan mental yang ditemukan pada tuna wisma anak-anak meliputi keterlambatan perkembangan, depresi, ansietas, keinginan bunuh diri, gangguan tidur, pemalu, penarikan diri, dan agresi. Perawat perlu mencari sumber masalah dan berusaha menyelesaikan penyebab untuk mengatasi masalah yang ada.
2.        Aplikasi Paradigma Keperawatan
Orem memandang manusia dalam dua kategori, yaitu yang membutuhkan perawatan diri (tuna wisma) dan agen yang memberikan perawatan diri. Agen pemberi perawatan tidak hanya terbatas pada perawat, namun juga keluarga atau orang lain yang dapat memberikan perawatan kesehatan bagi tuna wisma.
Kondisi sehat dapat tercapai bila terpenuhi kebutuhan perawatan diri bagi tuna wisma. Untuk memenuhi hal ini, diperlukan strategi yang adekuat mengingat uniknya kondisi tuna wisma, banyaknya kebutuhan perawatan diri, dan masih kurangnya support system bagi tuna wisma terutama di Indonesia. Kondisi ini tercapai ketika tercapai keseimbangan antara kebutuhan dengan kemampuan untuk melakukan perawatan diri.
Tuna wisma terpapar berbagai elemen, mengalami kondisi fisik yang berdesakan dan tidak sehat. Penelitian Murray (1996, dalam Stone, 2002) menunjukkan bahwa mayoritas tuna wisma takut terhadap kekerasan dan tidak mampu melindungi diri. Mereka juga frustasi dengan petugas penampungan dan reaksi negatif dari orang lain. hal ini merefleksikan kebutuhan terhadap perawat yang memberikan perawatan yang holistik dan sensitif terhadap kebutuhan mereka secara kompeten.
3.        Aplikasi pada riset
Penelitian yang dilakukan pada tuna wisma di Kanada, menghasilkan perubahan gaya hidup perawatan diri yang positif dalam promosi kesehatan dan dalam bertahan hidup (McCormack dan MacIntosh, 2001). Perilaku yang dimunculkan dapat digunakan sebagai mekanisme koping dan merupakan strategi keseharian dan situasi tertentu.
Penelitian Anderson (2001) tentang hubungan antara agen perawatan diri, perawatan diri, dan kesehatan menghasilkan ditemukannya perawatan diri kearah kesehatan dengan dukungan agen perawatan diri yang memberikan energi yang merekomendasikan memperkuat agen perawatan diri bagi tuna wisma individu.
4.        Aplikasi pada praktik
Perawat komunitas memberikan pelayanan kesehatan kepada tuna wisma dalam setting klinik yang mempunyai target tuna wisma, maupun pusat-pusat yang berbasis komunitas, memberikan aktivitas proteksi dan promosi kesehatan. Well (1996, dalam Stone, 2002) menekankan kebutuhan program yang menjangkau tunawisma untuk mobile dan menemui tunawisma dimanapun mereka berada, yang berada pergi dari klinik dan kantor ke taman-taman, jembatan dan penampungan. Seperti halnya masalah lainnya, intervensi yang paling ideal adalah pencegahan primer, dalam hal ini adalah terhadap tuna wisma. Suatu tujuan jangka panjang seharusnya tetap diarahkan ke arah pemberian kepada tuna wisma alat untuk menjadi motivasi diri dan kecukupan diri dalam memelihara kesehatan dan perlindungan mereka. Pencegahan adalah cara yang paling efisien untuk membantu tuna wisma dan fokus sebaiknya pada perbaikan penyebab tuna wisma. Perawat komunitas mempunyai peran yang signifikan terhadap tuna wisma. Melalui mobilisasi partnership dan perencanaan komunitas dan aktivitas politik, perawat komunitas membantu tuna wisma dan keluarga mencapai kecukupan diri mereka. Usaha kolabarasi antar tim kesehatan yang multidisiplin dan komunitas yang membantu tuna wisma dalam mengembangkan intervensi spesifik populasi.
Praktik keperawatan pada konteks tuna wisma dilakukan karena kurangnya akses pelayanan kesehatan yang tersedia bagi mereka. Pelayanan yang dapat diberikan kepada mereka mencakup pelayanan kesehatan primer, nutrisi, pelayanan legal, peer education, bantuan finansial, dan konseling NARKOBA. Perawat sebagai case manager melakukan home visit (kunjungan ke tempat persinggahan mereka) untuk melakukan pengkajian, intervensi dan rujukan kepada agen perawatan diri lain yang diperlukan sesuai dengan permasalahan yang ditemui.
Mengingat keunikan kondisi klien tuna wisma, asuhan keperawatan yang diberikan harus mempertimbangkan aspek-aspek berikut ini :
a. Accessibility : kemampuan tuna wisma untuk menggunakan pelayanan, meliputi jarak, usaha, biaya, dan kesadaran tentang butuhnya perawatan diri sebagai kunci bagi para tuna wisma. Akses meliputi waktu dan lokasi pelayanan.
b. Acceptability : tingkat penerimaan tuna wisma yang dapat mereka gunakan. Hal ini ditinjau dari perspektif individu, keluarga, dan komunitas. Tuna wisma akan memilih menggunakan pelayanan kesehatan berdasar persepsi kompetensi perawatan, pengalaman sebelumnya, bahasa, dan budaya atau sensitivitas perilaku pemberi pelayanan kesehatan (Magilvy, congdon, & Martinez, 1994)
c. Affordability. Kesanggupan ekonomi. Kondisi tunawisma yang kurang mampu dalam perekonomian dapat dibantu oleh pemerintah. Diperlukan suatu bentuk pelayanan yang optimal dengan dukungan dari pemerintah berupa dana dan kebijakan.
d. Appropriateness : Bentuk asuhan keperawatan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan perawatan diri tuna wisma dan hal ini merasa dibutuhkan sebagai kebutuhan utama bagi mereka. Perawat perlu menumbuhkan kepedulian tuna wisma tentang kebutuhan perawatan diri yang diperlukan mereka.
e. Adequacy : Keadekuatan intervensi keperawatan berbasis komunitas meliputi kualitas dan kelengkapan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri sesuai dengan tingkat kebutuhannya (wholly compensatory, partially compensatory, atau supportive-educative system). Diperlukan rancangan program yang sangat bagus untuk dapat menghasilkan outcome yang optimal pada populasi tuna wisma dengan segala kondisi yang ada.
5.        Aplikasi pada pendidikan
Mahasiswa keperawatan seharusnya dibantu untuk memahami dan mengetahui praktik keperawatan komunitas yang konkret dalam konteks tuna wisma. Ilmu keperawatan teoritis membedakan isi yang secara spesifik berbeda dengan profesi lain. Mahasiswa keperawatan perlu dibekali kemampuan untuk dapat memberikan perawatan diri pada tuna wisma dan memampukan tuna wisma dalam melakukan perawatan diri. Oleh sebab itu diperlukan kurikulum berbasis kompetensi yang adekuat untuk menghasilkan perawat komunitas yang profesional.

Contoh aplikasi manajemen asuhan keperawatan pada tuna wisma
Dalam manajemen asuhan keperawatan bagi para tuna wisma, yang pertama dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengkajian atau mengklasifikasikan tiap kebutuhan masing masing dari tuna wisma tersebut, karena meskipun mereka merupakan satu golongan tunawisma yang sama dengan masalah defisit perawatan diri, tentunya masing masing individu tersebut akan mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Kategorikan setiap kebutuhan individu yang ada dengan kriteria sebagai berikut :
1.      Apakah individu tersebut masuk dalam tuna wisma yang memerlukan bantuan secara keseluruhan. Hal ini diperuntukkan bagi tunawisma yang memang tidak mampu mengontrol lingkungan yang ada disekitarnya. Dengan kondisi seperti ini, berarti perawat harusnya membeikan bantuan secara penuh untuk memenuhi kebutuhannya
2.      Apakah individu tersebut masuk dalam tunawisma yang memerlukan bantuan sebagian. Artinya, diperuntukkan bagi tuna wisma yang mengalami keterbatasan gerak karena sakit atau kecelakaan.
3.      Apakah individu tersebut masuk dalam tunawisma yang membutuhkan dukungan pendidikan agar mampu melakukan perawatan secara mandiri.

Dalam mengkategorikan setiap tuna wisma tersebut, sebaiknya dilakukan dengan seksama sesuai dengan pertimbangan kebutuhan yang ada untuk masing masing individu. Setelah melalui tahap pengkategorian, perawat bisa memberikan atau melakukan tindakan keperawatan dengan berbagai metode sesuai dengan kebutuhan masing masing individu tersebut, yang antara lain :
1.        Melakukan sesuatu untuk klien atau acting
Dalam hal ini, perawat bisa mengaplikasikan berbagai tindakan keperawatan secara langsung kepada tunawisma seperti memberikan banuan obat obatan secara langsung, melakukan pemeriksaan kesehatan, dll.
2.        Mengajarkan klien
Perawat bisa mengajarkan kepada para tunawisma bagaimana cara melakukan personal hygiene dengan baik dan benar sesuai dengan ketersediaan fasilitas yang ada di lingkungan sekitar mereka
3.        Mengarahkan klien
Dalam hal ini bisa diambil contohnya adalah dengan memfasilitasi tunawisma apa yang seharusnya mereka lakukan agar terhindar dari kemungkinan terburuk dari kesehatan mereka. Tindakan pencegahan lebih baik dilakukan dengan memberikan pengarahan kepada para tuna wisma bahwa pelayanan kesehatan di masyarakat sudah memfasilitasi bagi mereka yang kurang mampu dari segi finansial
4.        Memberikan dukungan kepada para tuna wisma
Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan kunjungan secara rutin kepada para tunawisma untuk mengevaluasi tingkat perawatan diri dan kesehatan serta kesejahteraan mereka
5.        Menyediakan lingkungan untuk klien agar dapat tumbuh dan berkembang
Bersama sama dengan tun wisma untuk selalu menjaga lingkungan sekitar tempat tinggal mereka agar terhindar dari hal-hal yang mengancam kesehatan mereka.

Kamis, 24 Juli 2014

TRANSFORMASI LEADERSHIP DALAM PERKEMBANGAN PROFESI KEPERAWATAN GUNA MENDUKUNG PELAYANAN KESEHATAN PARIPURNA



TRANSFORMASI LEADERSHIP DALAM PERKEMBANGAN
PROFESI KEPERAWATAN GUNA MENDUKUNG
PELAYANAN KESEHATAN PARIPURNA

Perubahan bisa terjadi setiap saat, dan merupakan proses yang dinamik serta tidak dapat dielakkan. Berubah berarti beranjak dari keadaan semula. Tanpa berubah tidak ada pertumbuhan dan tidak ada dorongan. Namun dengan berubah dapat terjadi ketakutan, kebingungan, kegagalan dan kebahagiaan. Setiap orang dapat memberikan perubahan pada orang lain. Merubah orang lain dapat bersifat implisit maupun eksplisit atau bersifat tertutup dan terbuka. Kenyataan ini penting khususnya dalam kepemimpinan dan manajemen keperawatan. Pemimpin dalam keperawatan diharapkan dapat menggerakkan sistim dari satu titik ke titik lainnya dalam upaya pemecahan masalah. Maka secara konstan pemimpin harus mengembangkan strategi untuk merubah orang lain dan memecahkan masalah (Purwoko, 1998).
Keperawatan yang sedang berada pada proses profesionalisasi harus terus berusaha membuat dan merencanakan perubahan (Nursalam, 2005). Adaptasi dalam sebuah perubahan menjadi persyaratan kerja dalam keperawatan.
Perubahan, tantangan, dan peluang sedang dihadapi oleh sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Pada era global seperti saat ini, perubahan dalam sistem dan tatanan pelayanan kesehatan telah mempercepat perkembangan lmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) kesehatan. Salah satu dampak dari perkembangan IPTEK kesehatan adalah menjadi tingginya biaya pelayanan dan pemeliharaaan kesehatan.
Tingginya biaya kesehatan ini berdampak negatif terhadap ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang memadai untuk golongan masyarakat menengah ke bawah.
           Salah satu pelaku yang terlibat dalam sistem pelayanan kesehatan adalah tim kesehatan termasuk salah satunya adalah tenaga keperawatan. Tenaga keperawatan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan harus senantiasa memberikan pelayanannya secara kontinyu dan konsisten selama 24 jam (Badiah, 2009). Mereka menghadapi berbagai masalah kesehatan yang dialami oleh pasien atau keluarganya. Disamping itu, mereka juga harus memfokuskan pelayanannya pada keberlangsungan kegiatan pelayanan itu sendiri. Mereka sendiri mengalami berbagai respon fisik dan psikologis yang tidak dapat diabaikan karena akan mempengaruhi kinerjanya sehari-hari. Untuk itu, mereka memerlukan pemimpin yang melalui proses kepemimpinannya mampu mengendalikan, memotivasi, bertindak sebagai layaknya pemimpin yang diharapkan, dan menggali potensi yang dimiliki stafnya untuk dibantu dikembangkan (Nurrachmah, 2005).
Sebagai sebuah profesi, keperawatan dihadapkan pada situasi dimana karakteristik profesi harus dimiliki dan dijalankan sesuai kaidahnya. Sebaliknya, sebagai pemberi pelayanan, keperawatan juga dituntut untuk lebih meningkatkan kontribusinya dalam pelayanan kepada masyarakat yang semakin terdidik, dan mengalami masalah kesehatan yang bervariasi serta respon terhadap masalah kesehatan yang bervariasi pula.
Sehingga pada saat ini menurut Sugijati, et all (2009) sangat diperlukan kepemimpinan yang mampu mengarahkan profesi keperawatan dalam menyesuaikan dirinya di tengah-tengah perubahan dan pembaharuan sistem pelayanan kesehatan. Kepemimpinan tersebut seyogyanya yang fleksible, accessible, dan dirasakan kehadirannya.
Kepemimpinan merupakan seni untuk seorang pemimpin melayani orang lain, memberikan apa yang dimiliki untuk kepentingan orang lain. Sebagai pemimpin, ia menempatkan dirinya sebagai orang yang bermanfaat untuk orang lain. Dalam profesi keperawatan, belum banyak pemimpin keperawatan yang telah memahami secara baik.
            Hal tersebut karena mereka lebih memahami paradigma lama dimana setiap pemimpin yang sedang menjalankan fungsi kepemimpinannya harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang lain dan mereka merasa memiliki hak untuk dilayani. Motivational leadership sebaiknya juga harus  dimiliki oleh setiap pemimpin dalam keperawatan (Tappen, 1995). Situasi saat ini dimana banyak terjadi perubahan dan juga tantangan telah memberikan kecenderungan pada para perawat pelaksana  untuk lebih mudah merasa lelah dan cepat menyerah.
            Untuk itulah diperlukan sosok pemimpin yang mampu secara konsisten memberikan motivasi kepada orang lain dan memiliki kualitas kunci yaitu: meliputi kemampuan akan pengetahuan dan ketrampilan (memimpin dan teknis), mengkomunikasikan ide secara efektif, percaya diri, komitmen tinggi, pemahaman tentang kebutuhan orang lain, memiliki dan mengatur energi, serta kemampuan mengambil tindakan yang dirasakan perlu untuk memenuhi kepentingan orang banyak. 
           Dalam mengantisipasi masa depan, pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya memerlukan kemampuan entrepreuner yang efektif termasuk didalamnya kemampuan bargaining, negosiasi, marketing, penghargaan terhadap keberadaan stakeholder internal maupun eksternal.
Seorang pemimpin keperawatan tidak akan berhasil melakukan fungsinya apabila tidak memiliki kemampuan mengatur waktu, mengendalikan stress baik yang dialaminya maupun orang lain (bawahan), dan juga mengatasi konflik yang terjadi baik internal maupun eksternal, baik individual, maupun kelompok (managing time, stress, and conflict) (Nurrachmah, 2005).
Kepemimpinan dalam keperawatan memerlukan seseorang yang memiliki kriteria tersebut. Hal ini karena dalam kegiatan keseharian, seorang pemimpin sangat memperhitungkan waktu bukan hanya untuk mengatur kegiatan rutin saja, melainkan juga memperhitungkannya ketika pengambilan keputusan penting.
Selain itu, stress kerja pada umumnya dialami banyak karyawan maupun pemimpin karena adanya tekanan dalam berbagai hal mulai dari ketersediaan waktu, keinginan menghasilkan sesuatu yang berkualitas, dan keterbatasan sumber, serta upaya melakukan sinergi positif dari berbagai latar belakang pendidikan dan kemampuan. Untuk itu, setiap pemimpin keperawatan sebaiknya memahami konsep pengendalian stress agar dapat tetap mengarahkan orang yang dipimpinnya ke arah produktifitas yang tinggi
Demikian pula ketika seorang pemimpin melihat terjadinya konflik dalam bekerja, ia sebaiknya memiliki pengetahuan dasar tentang konflik dan pendekatan untuk menyelesaikannya tanpa harus mengorbankan salah satu pihak yang berkonflik.     Kemampuan kepemimpinan yang lainnya melibatkan ketrampilan seorang pemimpin dalam keperawatan dalam menginisiasi perubahan/pembaharuan secara terencana (planned change) (Bondan,2007). Kepemimpinan dalam keperawatan memerlukan seseorang pemimpin yang mampu membawa perubahan/pembaharuan tanpa menimbulkan kecemasan dan ketidakpastian situasi akibat perubahan/pembaharuan tersebut.
             Menurut Nurrachmah (2005) sifat kepemimpinan yang visioner dan futuristic juga sangat diperlukan dalam profesi keperawatan. Hal ini karena pemimpin yang berorientasi ke masa depan dan mengetahui pilihan masa depan yang terbaik untuk bawahannya akan mampu membawa perubahan/pembaharuan ke dalam kehidupan kerja para bawahannya dengan sebaik-baiknya melalui perencanaan yang matang dan waktu yang tepat.
Hal lain yang perlu diperhatikan pula adalah kepemimpinan dalam keperawatan juga harus dilaksanakan secara etikal karena tidak jarang pemimpin perawat menghadapi masalah yang melibatkan keputusan etik sehingga memerlukan kerjasama dengan pihak lain untuk menemukan solusi etik.Pengambilan keputusan yang melibatkan kepentingan pasien dan keluarga sering menuntut pemimpin perawat untuk membuat keputusan etik yang mempertimbangkan norma dan nilai-nilai.
            Dengan kata lain, kepemimpinan dalam keperawatan melibatkan banyak aspek dan unsur yang terkait didalamnya sehingga diperlukan pemimpin yang mampu menjalankan kepemimpinannya bukan hanya mempertimbangkan aspek etik saja tetapi juga pertimbangan visi ke depan dan bagaimana mentransformasikan perubahan dan pembaharuan ke dalam kegiatan harian tanpa menimbulkan kecemasan, ketidak-pastian, dan ancaman bagi yang terlibat didalamnya serta mewujudkan perubahan itu secara terencana, bertahap, namun berhasil guna.Pemimpin seperti ini tentu harus memiliki visi masa depan yang kuat.
          Pada era global saat ini dan era sesudahnya akan banyak terjadi perubahan dalam kehidupan manusia, sistem penyelenggaraan kehidupan manusia, keterbatasan sumber-sumber yang diperlukan dalam kehidupan manusia serta perkembangan ilmu dan teknologi yang tiada henti. Perubahan sikap dan perilaku sumber daya manusia dalam sistem ketenaga-kerjaan juga akan terjadi sebagai dampak dari berbagai perubahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan manusia. Berdasarkan situasi ini, maka dimasa depan diperlukan pemimpin yang handal tapi tangguh yang memiliki berbagai ketrampilan dari mulai memotivasi bawahan sampai kepada menciptakan perubahan.
          Pemimpin keperawatan di masa depan juga harus mampu menciptakan nilai-nilai unggulan yang menjadi karakteristik profesi, dan menyatakan visi yang mampu menjadi inspirasi bagi orang lain. Dalam kepemimpinannya, ia juga harus mampu berbicara dan bertindak strategis sehingga dapat menimbulkan manfaat positif bagi orang yang dipimpinnya. Selanjutnya, banyaknya peluang yang berpotensi terjadi di masa depan mengharuskan pemimpin perawat menentukan arah perubahan yang besar.
          Berdasarkan tantangan yang semakin besar dan kuat terhadap profesi keperawatan ke depan, maka sudah saatnya untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin perawat yang memiliki kepemimpinan yang handal. Untuk melahirkan pemimpin perawat yang baik, memerlukan, bersepakat, merubah pandangan dan cara berpikir.
          Pemimpin   keperawatan juga dituntut memiliki visi ke depan, responsif terhadap tantangan yang mucul dan mampu menggerakan semua sumberdaya dalam organisasi ,tidak hanya bertindak sebagai juru bicara atau pelatih  dalam organisasi tetapi sebagai penentu arah bagi organisasi, dan  sebagai agen perubahan dalam organisasi.
          Proses membangun Profesionalitas seorang perawat tidak terlepas dari peran institusi keperawatan, dimana proses pendidikan disusun berdasarkan kerangka konsep yang kokoh yang meliputi; penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan, menyelesaikan masalah secara ilmiah, sikap dan tingkah laku profesional (Nursalam, 2005).
Lingkungan pelayanan kesehatan pada saat ini telah memberikan peluang pada tenaga keperawatan untuk memperoleh status professional dengan cara proaktif berespon terhadap kebutuhan perubahan dan harapan masyarakat (Azwar, 1996). Sebagai kelompok pemberi pelayanan kesehatan terbesar, profesi ini telah diposisikan untuk mempengaruhi bukan hanya perkembangan sistem tetapi juga bagaimana praktik harus dibentuk dengan mengubah tatanan lapangan pelayanan kesehatan. Proses yang timbal balik ini tentu saja akan mempengaruhi setiap aspek praktik professional dan sangat tergantung dari proses kepemimpinan keperawatan yang terjadi. Lingkungan pelayanan kesehatan pada saat ini telah memberikan peluang pada tenaga keperawatan untuk memperoleh status professional dengan cara proaktif berespon terhadap kebutuhan perubahan dan harapan masyarakat. Sebagai kelompok pemberi pelayanan kesehatan terbesar, profesi ini telah diposisikan untuk mempengaruhi bukan hanya perkembangan sistem tetapi juga bagaimana praktik harus dibentuk dengan mengubah tatanan lapangan pelayanan kesehatan. Proses yang timbal balik ini tentu saja akan mempengaruhi setiap aspek praktik profesional dan sangat tergantung dari proses kepemimpinan keperawatan yang terjadi.
Para perawat yang berada pada posisi kepemimpinan memiliki tanggung jawab yang luas dalam arena pelayanan kesehatan. Hal ini  karena lingkungan pelayanan kesehatan saat ini memberikan banyak peluang untuk perawat memperoleh status professionalnya dengan secara proaktif berespon terhadap kebutuhan masyarakat.
           Keperawatan biasanya menjadi jelas posisinya justru karena ketidak hadirannya dalam daftar kepemimpinan nasional. Banyak masyarakat yang belum mempersepsikan pemimpin perawat memiliki kekuatan dan kekuasaan. Demikian pula sistem pelayanan kesehatan tidak berhasil untuk mengidentifikasi profesi perawat sebagai professional yang memiliki pengetahuan yang bermanfaat untuk membantu menciptakan solusi terhadap masalah kesehatan yang kompleks. Hal ini dapat dimengerti karena selama ini sesuai sejarahnya, banyak perawat yang telah menghindari peluang untuk mengemban kekuatan dan peranan politik di masa lalu.
           Seiring berjalannya waktu, saat ini profesi keperawatan diharapkan mulai memahami bahwa kekuatan dan kekuasaan serta peranan politik telah menjadi salah satu faktor penentu mencapai tujuan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan dan sekaligus meningkatkan otonomi keperawatan. Oleh karena itu, ketika terjadi banyak perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan maka para pemimpin perawat harus berpartisipasi secara aktif dan proaktif untuk mencari jalan bagaimana mempengaruhi pengambil keputusan dalam sistem pelayanan kesehatan dan membuat untuk didengar suaranya oleh mereka. Para pemimpin perawat memiliki kapasitas kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan publik sepanjang mereka memiliki berbagai potensi kepemimpinan.
Menurut Muninjaya (2004), seorang pemimpin keperawatan selayaknya juga dapat memahami perubahan sistem dalam pelayanan kesehatan dan mengidentifikasi berbagai upaya untuk mengembangkan praktik keperawatan dengan mengendalikan faktor yang berpengaruh negatif dan meningkatkan faktor yang berpengaruh positif terhadap praktik keperawatan.
Dengan uraian tentang transformasi atau perubahan leadership dalam keperawatan tersebut, diharapkan profesi keperawatan dapat melakukan perubahan nyata, semakin berkembang, semakin diakui dan dapat memberikan dan menunjukkan kinerja yang  profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna. Apabila telah ada dasar kepemimpinan yang baik dalam  profesi keperawatan maka menurut Mulyaningsih (2011) diharapkan hal tersebut dapat memberikan dampak terhadap seluruh hal, yaitu kepuasan terhadap pelayanan kesehatan secara paripurna akan dapat dirasakan oleh pasien, keluarga dan juga oleh tenaga kesehatan, khususnya perawat.


Daftar Pustaka

Azwar, A.1996. Menuju Pelayanan Kesehatan Yang Lebih Bermutu. Jakarta:   Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia
Badiah, A, et all. “Hubungan Motivasi Perawat Dengan Kinerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Daerah Panembahan Senopati Bantul Tahun 2008”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.Vol.12 juni 2009:75
Bondan.2007. “Leadership Dalam Keperawatan”. Jurnal Keperawatan & Penelitian Kesehatan Mei 2007
Mulyaningsih.2011. “Mutu Pelayanan Kesehatan”. Jurnal Kesehatan Gaster STIKES ‘Aisyiyah Surakarta. Vol. 8 1 Februari 2011
Muninjaya, G. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: EGC
Nurrachmah,E. 2005. Leadership Dalam Keperawatan. http://www.pdpersi.co.id diakses tanggal 20 Sepetember 2011
Nursalam. 2002. Manajemen Keperawatan, Aplikasi Dalam Praktek Keperawatan Profesional.Jakarta: Salemba Medika
Purwoko, S. 1998. Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. Jakarta: EGC
Sugijati, Sajidah, A, dan Dramawan, A. “Analisis Gaya Kepemimpinan Kepala Ruang terhadap Kinerja Perawat Dalam Melakukan Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Mataram”. Jurnal Kesehatan Prima. Vol. 2 Agustus 2008:328-329
Tappen.1995. Nursing Leadership and Management: Concepts & Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company