lets choose...good team work or bad team work...
NURSING
Jumat, 19 Agustus 2016
TEORI OREM
TEORI OREM
A.
PENGERTIAN
Keperawatan
mandiri (self care) menurut Orem's adalah "Suatu pelaksanaan kegiatan yang
diprakarsai dan dilakukan oleh individu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna
mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai dengan keadaan,
baik sehat maupun sakit " (Orem's, 1980).
Pada
dasarnya diyakini bahwa semua manusia itu mempunyai kebutuhan-kebutuhan self
care dan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kebtuhan itu sendiri, kecuali
bila tidak mampu.
B.
SISTEM
KEPERAWATAN OREM
Teori keperawatan Orem disebut sebagai teori defisit perawatan diri, pertama
kali dipublikasikan tahun 1971 dan dihasilkan dari rapat kerja Nursing
Development Conference Group. Teori ini terdiri dari artikulasi teori perawatan
diri, defisit perawatan diri dan sistem keperawatan.
1. Perawatan diri
Teori
perawatan diri didasarkan pada empat konsep yaitu perawatan diri, agensi
perawatan diri, syarat perawatan diri dan tuntutan perawatan diri terapeutik.
a.
Perawatan diri
Mengacu pada aktivitas yang dilakukan individu
secara mandiri sepanjang hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan
kesejahteraan pribadi.
b.
Agensi diri
Kemampuan
individu untuk melakukan aktivitas perawatan diri. Agensi perawatan diri
terdiri dari dua agen yaitu agen perawatan diri (individu yang melakukan
perawatan diri secara mandiri) dan agen perawatan dependen (orang lain yang
memberikan pada individu)
c.
Syarat perawatan diri
Disebut
juga kebutuhan perawatan diri yaitu
tindakan yang dilakukan untuk mengatur fungsi dan perkembangan. Ada tiga
kategori kebutuhan perawatan diri :
1)
Kebutuhan universal yaitu umum untuk
semua orang, mencakup asupan dan eliminasi udara, air, makanan, dan istirahat
seimbang, menyendiri, interaksi social, pencegahan bahaya terhadap kehidupan
dan kesejahteraan, meningkatkan fungsi manusia normal.
2)
Kebutuhan perkembangan, dihasilkan dari
kedewasaan dan dikaitkan dengan tahap perkembangan atau kondisi atau kejadian.
Contoh : penyesuaian terhadap citra tubuh atau terhadap kehilangan pasangan
3)
Kebutuhan deviasi kesehatan, disebabkan
karena kondisi sakit, cedera, atau penyakit atau terapinya, mencakup tindakan
pencarian bantuan perawatan kesehatan, pelaksanaan terapi yang diprogramkan dan
belajar untuk hidup dengan efek yang ditimbulkan oleh kondisi sakit atau
terapi.
d. Tuntutan
perawatan diri terapeutik mengacu pada semua aktivitas perawatan diri yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pada situasi dan kondisi tertentu, seperti
kondisi sakit.
2. Defisit perawatan diri
Teori
defisit perawatan diri menyatakan bahwa orang mendapatkan manfaat dari
keperawatan karena memiliki keterbatasan yang terkait dengan kesehatan dalam
hal melakukan perawatan diri. Keterbatasan dapat disebabkan oleh kondisi sakit,
cedera atau akibat efek pemeriksaan atau terapi medis. Dua variabel yang
mempengaruhi defisit perawatan diri antara lain :
•
Agensi perawatan diri (kemampuan)
•
Tuntutan perawatan diri terapeutik
(tindakan perawatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang ada)
Defisit
perawatan diri terjadi pada saat agensi perawatan diri tidak adekuat untuk
memenuh tuntutan perawatan diri yang ada. Teori deficit perawatan diri Orem
menjelaskan tidak hanya pada saat keperawatan diperlukan , tetapi juga
bagaimana orang dapat dibantu melalui lima metode pemberian bantuan bertindak
atau melaksanakan untuk, memandu, mengajarkan, mendukung dan menciptakan
lingkungan yang meningkatkan kemampuan individu untuk memenuhi tuntutan saat
ini dan di masa yang akan datang.
Teori
self care deficit diterapkan bila ;
a.
Anak belum dewasa
b.
Kebutuhan melebihi kemampuan perawatan
c.
Kemampuan sebanding dengan kebutuhan
tetapi diprediksi untuk masa yang akan datang, kemungkinan terjadi penurunan
kemampuan dan peningkatan kebutuhan.
3. Sistem Keperawatan
Orem
mengidentifikasi tiga tipe sistem keperawatan :
a.
Sistem kompensasi keseluruhan
Sistem ini diperlukan untuk individu yang tidak
mampu mengontrol dan memntau lingkungan mereka serta memproses informasi
b.
Sistem kompensasi sebagian
Sistem
ini dirancang untuk individu yang tidak mampu melakukan beberapa aktivitas
perawatan diri.
c.
Sistem suportif-edukatif (perkembangan)
Sistem
ini dirancang untuk seseorang yang perlu belajar melakukan tindakan perawatan
diri dan membutuhkan bantuan.
Fokus
dalam ketiga teori Orem adalah perawatan diri yang didefinisikan sebagai
“praktik atau aktivitas individu memulai dan menunjukkan keperluan mereka
sendiri dalam memelihara hidup, kesehatan dan kesejahteraan (Orem, 1985).
Perawatan diri tidak terbatas pada seseorang yang memberikan perawatan untuk
dirinya sendiri ; hal ini termasuk perawatan yang ditawarkan orang lain untuk
keperluan orang lain. Perawatan mungkin ditawarkan oleh anggta keluarga atau
orang lain hingga orang tersebut mampu untuk melakukan perawatan diri.
Perawatan diri mempunyai tujuan dan berperan terhadap integritas structural,
fungsi dan perkembangan manusia (Orem, 1985). Tujuan yang ingin dicapai adalah
keperluan universal, perkembangan dan perawatan kesehatan akibat penyimpangan
kesehatan.
Ketiga
tipe keperluan perawatan diri yang dikemukakan Orem adalah universal,
perkembangan dan penyimpangan kesehatan. Dengan focus keperawatan adalah pada
pengidentifikasian kebutuhan perawatan diri, perancangan metode dan tindakan
untuk memenuhi kebutuhan serta totalitas kebutuhan untuk tindakan keperawatan.
C.
KEYAKINAN DAN NILAI – NILAI
Kenyakianan
Orem's tentang empat konsep utama keperawatan adalah :
1.
Klien : individu atau kelompok yang
tidak mampu secara terus menerus memperthankan self care untuk hidup dan sehat,
pemulihan dari sakit atau trauma atu koping dan efeknya.
2.
Sehat : kemampuan individu atau
kelompoki memenuhi tuntutatn self care yang berperan untuk mempertahankan dan
meningkatkan integritas structural fungsi dan perkembangan.
3.
Lingkungan : tatanan dimana klien tidak
dapat memenuhi kebutuhan keperluan self care dan perawat termasuk didalamnya
tetapi tidak spesifik.
4.
Keperawatan : pelayanan yang dengan
sengaja dipilih atau kegiatan yang dilakukan untuk membantu individu, keluarga
dan kelompok masyarakat dalam mempertahankan self care yang mencakup integritas
struktural, fungsi dan perkembangan.
D.
TUJUAN
Tujuan keperawatan pada model
Orem"s secara umum adalah :
1.
Menurunkan tuntutan self care pada
tingkat dimana klien dapat memenuhinya, ini berarti menghilangkan self care
defisit.
2.
Memungkinkan klien meningkatkan
kemampuannya untuk memenuhi tuntutan self care.
3.
Memungkinkan orang yang berarti
(bermakna) bagi klien untuk memberikan asuhan dependen jika self care tidak
memungkinkan, oleh karenanya self care defisit apapun dihilangkan.
Jika
ketiganya diatas tidak tercapai, perawat secara langsung dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
self care klien.Tujuan keperawatan pada model Orem's yang diterapkan kedalam
praktek keperawatan keluarga / komunitas adalah :
1.
Menolong klien dalam hal ini keluarga
untuk keperawatan mandiri secara terapeutik
2.
Menolong klien bergerak kearah tidakan-tidakan
asuhan mandiri
3.
Membantu anggota keluarga untuk merawat
anggota keluarganya yang mengalami gangguan secara kompeten.
Dengan
demikian maka fokus asuhan keperawatan pada model orem's yang diterapkan pada
praktek keperawatan keluaga/komunitas adalah:
1.
Aspek interpersonal : hubungan didalam
kelurga
2.
Aspek sosial : hubungan keluarga dengan
masyarakat disekitarnya.
3.
Aspek prosedural ; melatih ketrampilan
dasar keluarga sehingga mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi
4.
Aspek tehnis : mengajarkan kepada
keluarga tentang tehnik dasar yang dilakukan di rumah, misalnya melakukan
tindakan kompres secara benar
PEMBAHASAN
Teori orem menyajikan tentang konsep perawatan diri dimana yang
dimaksudkan adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa secara
berkelanjutan demi kesejahteraan, peningkatan taraf hidup dan kesehatan
seseorang. Berdasarkan dari sebuah konsep teori orem tersebut, banyak digunakan
untuk diaplikasikan kepada sekelompok orang tuna wisma. Kesehatan tuna wisma
juga seharusnya mendapatkan perhatian tidak hanya dari pemerintah melainkan
dari warga sekitar dan juga petugas kesehatan. Masalah utama dari kesehatan
tunawisma ini adalah kebanyakan berupa defisit perawatan diri, sehingga dalam
hal ini kelompok mencoba untuk mengaplikasikan teori orem dalam manajemen
asuhan keperawatan pada masalah defisit perawatan diri untuk tuna wisma.
Teori keperawatan Orem mengacu kepada
bagaimana individu memenuhi kebutuhan dan menolong keperawatannya sendiri atau
memaksimalkan kemampuan tunawisma dalam melakukan perawatan diri. Memaksimalkan
dapat diartikan bahwa tidak semua individu dapat mencapai kemampuan perawatan
diri secara mandiri. Untuk memaksimalkan kemampuan tunawisma dalam melakukan
perawatan diri diperlukan pemberdayaan sehingga individu yang bersangkutan mampu memberdayakan perawatan dirinya secara
optimal sesuai dengan kemampuannya.
Menurut Orem, perawatan merupakan fokus
khusus pada manusia yang membedakan keperawatan dari pelayanan masyarakat
lainnya. Dari sudut pandang ini, peran keperawatan dalam masyarakat tunawisma
adalah untuk memampukan individu dalam mengembangkan dan melatih kemampuan
perawatan diri mereka agar mereka dapat memenuhi kebutuhan perawatan yang
berkualitas dan memadahi pada diri mereka sendiri.
1.
Kebutuhan
Perawatan Diri pada Tuna Wisma
Kebutuhan perawatan diri bagi
para tuna wisma merupakan hal yang tidak dapat dielakkan mengingat kondisi
minimnya perlindungan dari segi fisik dan psikologis bagi mereka. Ditinjau dari
jenis kebutuhan perawatan diri Orem, tuna wisma mempunyai semua jenis kebutuhan
yang ada.
Kebutuhan perawatan diri
universal dibutuhkan oleh semua tuna wisma sebagai manusia. Mulai dari
kebutuhan udara, cairan, nutrisi, eliminasi, istirahat-aktivitas, menyendiri
dan interaksi sosial, serta pencegahan dari bahaya. Kondisi tuna wisma membuat
kebutuhan-kebutuhan perawatan tersebut terganggu. Udara jalanan yang penuh
dengan polusi, air yang kotor, makanan yang kurang higienis, tempat eliminasi,
interaksi sosial yang keras, serta bahaya-bahaya fisik dan psikologis yang
ditemui di jalanan merupakan kebutuhan yang menjadi perhatian penting perawat.
Kebutuhan perawatan diri
perkembangan disesuaikan dengan tahap perkembangan individu dan keluarga.
Misalnya tahap perkembangan bayi baru lahir hingga lansia sebagai individu,
atau tahap perkembangan keluarga pasangan baru menikah hingga keluarga dengan
lansia. Tahap perkembangan ini perlu diperhatikan karena masing masing tahap
perkembangan pada tuna wisma mempunyai karakteristik misalnya anak jalanan yang
sudah terbiasa bebas dan tidak ingin terikat membutuhkan strategi untuk
menanamkan nilai-nilai dalam diri mereka. Gagalnya memenuhi tugas perkembangan
akan mempengaruhi tahap perkembnagan selanjutnya.
Kebutuhan perawatan diri
penyimpangan kesehatan diperlukan sesuai dengan kondisi-kondisi masalah yang
banyak ditemui pada tuna wisma. Misalnya masalah anemia, malnutrisi, penyakit
kulit, infeksi telinga, gangguan mata, masalah gigi, infeksi saluran pernafasan
atas, dan masalah gastrointestinal. Masalah kesehatan mental yang ditemukan
pada tuna wisma anak-anak meliputi keterlambatan perkembangan, depresi,
ansietas, keinginan bunuh diri, gangguan tidur, pemalu, penarikan diri, dan
agresi. Perawat perlu mencari sumber masalah dan berusaha menyelesaikan
penyebab untuk mengatasi masalah yang ada.
2.
Aplikasi
Paradigma Keperawatan
Orem memandang manusia dalam dua
kategori, yaitu yang membutuhkan perawatan diri (tuna wisma) dan agen yang
memberikan perawatan diri. Agen pemberi perawatan tidak hanya terbatas pada
perawat, namun juga keluarga atau orang lain yang dapat memberikan perawatan
kesehatan bagi tuna wisma.
Kondisi sehat dapat tercapai bila
terpenuhi kebutuhan perawatan diri bagi tuna wisma. Untuk memenuhi hal ini,
diperlukan strategi yang adekuat mengingat uniknya kondisi tuna wisma,
banyaknya kebutuhan perawatan diri, dan masih kurangnya support system bagi
tuna wisma terutama di Indonesia. Kondisi ini tercapai ketika tercapai
keseimbangan antara kebutuhan dengan kemampuan untuk melakukan perawatan diri.
Tuna wisma terpapar berbagai
elemen, mengalami kondisi fisik yang berdesakan dan tidak sehat. Penelitian
Murray (1996, dalam Stone, 2002) menunjukkan bahwa mayoritas tuna wisma takut
terhadap kekerasan dan tidak mampu melindungi diri. Mereka juga frustasi dengan
petugas penampungan dan reaksi negatif dari orang lain. hal ini merefleksikan
kebutuhan terhadap perawat yang memberikan perawatan yang holistik dan sensitif
terhadap kebutuhan mereka secara kompeten.
3.
Aplikasi
pada riset
Penelitian yang dilakukan pada
tuna wisma di Kanada, menghasilkan perubahan gaya hidup perawatan diri yang
positif dalam promosi kesehatan dan dalam bertahan hidup (McCormack dan
MacIntosh, 2001). Perilaku yang dimunculkan dapat digunakan sebagai mekanisme
koping dan merupakan strategi keseharian dan situasi tertentu.
Penelitian Anderson (2001)
tentang hubungan antara agen perawatan diri, perawatan diri, dan kesehatan
menghasilkan ditemukannya perawatan diri kearah kesehatan dengan dukungan agen
perawatan diri yang memberikan energi yang merekomendasikan memperkuat agen
perawatan diri bagi tuna wisma individu.
4.
Aplikasi
pada praktik
Perawat komunitas memberikan
pelayanan kesehatan kepada tuna wisma dalam setting klinik yang
mempunyai target tuna wisma, maupun pusat-pusat yang berbasis komunitas,
memberikan aktivitas proteksi dan promosi kesehatan. Well (1996, dalam Stone,
2002) menekankan kebutuhan program yang menjangkau tunawisma untuk mobile
dan menemui tunawisma dimanapun mereka berada, yang berada pergi dari klinik
dan kantor ke taman-taman, jembatan dan penampungan. Seperti halnya masalah
lainnya, intervensi yang paling ideal adalah pencegahan primer, dalam hal ini
adalah terhadap tuna wisma. Suatu tujuan jangka panjang seharusnya tetap
diarahkan ke arah pemberian kepada tuna wisma alat untuk menjadi motivasi diri
dan kecukupan diri dalam memelihara kesehatan dan perlindungan mereka.
Pencegahan adalah cara yang paling efisien untuk membantu tuna wisma dan fokus
sebaiknya pada perbaikan penyebab tuna wisma. Perawat komunitas mempunyai peran
yang signifikan terhadap tuna wisma. Melalui mobilisasi partnership dan
perencanaan komunitas dan aktivitas politik, perawat komunitas membantu tuna
wisma dan keluarga mencapai kecukupan diri mereka. Usaha kolabarasi antar tim
kesehatan yang multidisiplin dan komunitas yang membantu tuna wisma dalam
mengembangkan intervensi spesifik populasi.
Praktik keperawatan pada konteks
tuna wisma dilakukan karena kurangnya akses pelayanan kesehatan yang tersedia
bagi mereka. Pelayanan yang dapat diberikan kepada mereka mencakup pelayanan
kesehatan primer, nutrisi, pelayanan legal, peer education, bantuan
finansial, dan konseling NARKOBA. Perawat sebagai case manager melakukan
home visit (kunjungan ke tempat persinggahan mereka) untuk melakukan
pengkajian, intervensi dan rujukan kepada agen perawatan diri lain yang
diperlukan sesuai dengan permasalahan yang ditemui.
Mengingat keunikan kondisi klien
tuna wisma, asuhan keperawatan yang diberikan harus mempertimbangkan
aspek-aspek berikut ini :
a. Accessibility : kemampuan
tuna wisma untuk menggunakan pelayanan, meliputi jarak, usaha, biaya, dan
kesadaran tentang butuhnya perawatan diri sebagai kunci bagi para tuna wisma.
Akses meliputi waktu dan lokasi pelayanan.
b.
Acceptability : tingkat penerimaan tuna wisma yang dapat mereka gunakan.
Hal ini ditinjau dari perspektif individu, keluarga, dan komunitas. Tuna wisma
akan memilih menggunakan pelayanan kesehatan berdasar persepsi kompetensi
perawatan, pengalaman sebelumnya, bahasa, dan budaya atau sensitivitas perilaku
pemberi pelayanan kesehatan (Magilvy, congdon, & Martinez, 1994)
c. Affordability.
Kesanggupan ekonomi. Kondisi tunawisma yang kurang mampu dalam perekonomian
dapat dibantu oleh pemerintah. Diperlukan suatu bentuk pelayanan yang optimal
dengan dukungan dari pemerintah berupa dana dan kebijakan.
d. Appropriateness :
Bentuk asuhan keperawatan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan
perawatan diri tuna wisma dan hal ini merasa dibutuhkan sebagai kebutuhan utama
bagi mereka. Perawat perlu menumbuhkan kepedulian tuna wisma tentang kebutuhan
perawatan diri yang diperlukan mereka.
e. Adequacy : Keadekuatan
intervensi keperawatan berbasis komunitas meliputi kualitas dan kelengkapan
pelayanan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri sesuai dengan tingkat
kebutuhannya (wholly compensatory, partially compensatory, atau supportive-educative
system). Diperlukan rancangan program yang sangat bagus untuk dapat
menghasilkan outcome yang optimal pada populasi tuna wisma dengan segala
kondisi yang ada.
5.
Aplikasi
pada pendidikan
Mahasiswa keperawatan seharusnya
dibantu untuk memahami dan mengetahui praktik keperawatan komunitas yang
konkret dalam konteks tuna wisma. Ilmu keperawatan teoritis membedakan isi yang
secara spesifik berbeda dengan profesi lain. Mahasiswa keperawatan perlu
dibekali kemampuan untuk dapat memberikan perawatan diri pada tuna wisma dan
memampukan tuna wisma dalam melakukan perawatan diri. Oleh sebab itu diperlukan
kurikulum berbasis kompetensi yang adekuat untuk menghasilkan perawat komunitas
yang profesional.
Contoh aplikasi manajemen asuhan
keperawatan pada tuna wisma
Dalam manajemen asuhan keperawatan bagi
para tuna wisma, yang pertama dapat dilakukan adalah dengan melakukan
pengkajian atau mengklasifikasikan tiap kebutuhan masing masing dari tuna wisma
tersebut, karena meskipun mereka merupakan satu golongan tunawisma yang sama
dengan masalah defisit perawatan diri, tentunya masing masing individu tersebut
akan mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Kategorikan setiap kebutuhan
individu yang ada dengan kriteria sebagai berikut :
1.
Apakah individu tersebut masuk dalam
tuna wisma yang memerlukan bantuan secara keseluruhan. Hal ini diperuntukkan
bagi tunawisma yang memang tidak mampu mengontrol lingkungan yang ada
disekitarnya. Dengan kondisi seperti ini, berarti perawat harusnya membeikan
bantuan secara penuh untuk memenuhi kebutuhannya
2.
Apakah individu tersebut masuk dalam
tunawisma yang memerlukan bantuan sebagian. Artinya, diperuntukkan bagi tuna
wisma yang mengalami keterbatasan gerak karena sakit atau kecelakaan.
3.
Apakah individu tersebut masuk dalam
tunawisma yang membutuhkan dukungan pendidikan agar mampu melakukan perawatan
secara mandiri.
Dalam mengkategorikan setiap tuna wisma
tersebut, sebaiknya dilakukan dengan seksama sesuai dengan pertimbangan
kebutuhan yang ada untuk masing masing individu. Setelah melalui tahap
pengkategorian, perawat bisa memberikan atau melakukan tindakan keperawatan
dengan berbagai metode sesuai dengan kebutuhan masing masing individu tersebut,
yang antara lain :
1.
Melakukan sesuatu untuk klien atau
acting
Dalam hal ini, perawat bisa
mengaplikasikan berbagai tindakan keperawatan secara langsung kepada tunawisma
seperti memberikan banuan obat obatan secara langsung, melakukan pemeriksaan
kesehatan, dll.
2.
Mengajarkan klien
Perawat bisa mengajarkan kepada
para tunawisma bagaimana cara melakukan personal hygiene dengan baik dan benar
sesuai dengan ketersediaan fasilitas yang ada di lingkungan sekitar mereka
3.
Mengarahkan klien
Dalam hal ini bisa diambil
contohnya adalah dengan memfasilitasi tunawisma apa yang seharusnya mereka
lakukan agar terhindar dari kemungkinan terburuk dari kesehatan mereka.
Tindakan pencegahan lebih baik dilakukan dengan memberikan pengarahan kepada
para tuna wisma bahwa pelayanan kesehatan di masyarakat sudah memfasilitasi
bagi mereka yang kurang mampu dari segi finansial
4.
Memberikan dukungan kepada para tuna
wisma
Hal ini bisa dilakukan dengan
melakukan kunjungan secara rutin kepada para tunawisma untuk mengevaluasi
tingkat perawatan diri dan kesehatan serta kesejahteraan mereka
5.
Menyediakan lingkungan untuk klien agar
dapat tumbuh dan berkembang
Bersama sama dengan tun wisma untuk
selalu menjaga lingkungan sekitar tempat tinggal mereka agar terhindar dari
hal-hal yang mengancam kesehatan mereka.
Kamis, 24 Juli 2014
TRANSFORMASI LEADERSHIP DALAM PERKEMBANGAN PROFESI KEPERAWATAN GUNA MENDUKUNG PELAYANAN KESEHATAN PARIPURNA
TRANSFORMASI
LEADERSHIP DALAM PERKEMBANGAN
PROFESI
KEPERAWATAN GUNA MENDUKUNG
PELAYANAN
KESEHATAN PARIPURNA
Perubahan bisa terjadi setiap saat, dan merupakan proses yang dinamik serta
tidak dapat dielakkan. Berubah berarti beranjak dari keadaan semula. Tanpa
berubah tidak ada pertumbuhan dan tidak ada dorongan. Namun dengan berubah
dapat terjadi ketakutan, kebingungan, kegagalan dan kebahagiaan. Setiap orang
dapat memberikan perubahan pada orang lain. Merubah orang lain dapat bersifat
implisit maupun eksplisit atau bersifat tertutup dan terbuka. Kenyataan ini
penting khususnya dalam kepemimpinan dan manajemen keperawatan. Pemimpin dalam
keperawatan diharapkan dapat menggerakkan sistim dari satu titik ke titik
lainnya dalam upaya pemecahan masalah. Maka secara konstan pemimpin harus
mengembangkan strategi untuk merubah orang lain dan memecahkan masalah
(Purwoko, 1998).
Keperawatan yang sedang berada pada
proses profesionalisasi harus terus berusaha membuat dan merencanakan perubahan
(Nursalam, 2005). Adaptasi dalam sebuah perubahan menjadi persyaratan kerja
dalam keperawatan.
Perubahan, tantangan, dan peluang
sedang dihadapi oleh sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Pada era global
seperti saat ini, perubahan dalam sistem dan tatanan pelayanan kesehatan telah
mempercepat perkembangan lmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) kesehatan. Salah
satu dampak dari perkembangan IPTEK kesehatan adalah menjadi tingginya biaya
pelayanan dan pemeliharaaan kesehatan.
Tingginya biaya kesehatan ini berdampak negatif terhadap ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang memadai untuk golongan masyarakat menengah ke bawah.
Salah satu pelaku yang terlibat dalam sistem pelayanan kesehatan adalah tim kesehatan termasuk salah satunya adalah tenaga keperawatan. Tenaga keperawatan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan harus senantiasa memberikan pelayanannya secara kontinyu dan konsisten selama 24 jam (Badiah, 2009). Mereka menghadapi berbagai masalah kesehatan yang dialami oleh pasien atau keluarganya. Disamping itu, mereka juga harus memfokuskan pelayanannya pada keberlangsungan kegiatan pelayanan itu sendiri. Mereka sendiri mengalami berbagai respon fisik dan psikologis yang tidak dapat diabaikan karena akan mempengaruhi kinerjanya sehari-hari. Untuk itu, mereka memerlukan pemimpin yang melalui proses kepemimpinannya mampu mengendalikan, memotivasi, bertindak sebagai layaknya pemimpin yang diharapkan, dan menggali potensi yang dimiliki stafnya untuk dibantu dikembangkan (Nurrachmah, 2005).
Tingginya biaya kesehatan ini berdampak negatif terhadap ketersediaan sarana dan fasilitas kesehatan yang memadai untuk golongan masyarakat menengah ke bawah.
Salah satu pelaku yang terlibat dalam sistem pelayanan kesehatan adalah tim kesehatan termasuk salah satunya adalah tenaga keperawatan. Tenaga keperawatan yang terlibat dalam pelayanan kesehatan harus senantiasa memberikan pelayanannya secara kontinyu dan konsisten selama 24 jam (Badiah, 2009). Mereka menghadapi berbagai masalah kesehatan yang dialami oleh pasien atau keluarganya. Disamping itu, mereka juga harus memfokuskan pelayanannya pada keberlangsungan kegiatan pelayanan itu sendiri. Mereka sendiri mengalami berbagai respon fisik dan psikologis yang tidak dapat diabaikan karena akan mempengaruhi kinerjanya sehari-hari. Untuk itu, mereka memerlukan pemimpin yang melalui proses kepemimpinannya mampu mengendalikan, memotivasi, bertindak sebagai layaknya pemimpin yang diharapkan, dan menggali potensi yang dimiliki stafnya untuk dibantu dikembangkan (Nurrachmah, 2005).
Sebagai sebuah profesi, keperawatan
dihadapkan pada situasi dimana karakteristik profesi harus dimiliki dan
dijalankan sesuai kaidahnya. Sebaliknya, sebagai pemberi pelayanan, keperawatan
juga dituntut untuk lebih meningkatkan kontribusinya dalam pelayanan kepada
masyarakat yang semakin terdidik, dan mengalami masalah kesehatan yang
bervariasi serta respon terhadap masalah kesehatan yang bervariasi pula.
Sehingga pada saat ini menurut
Sugijati, et all (2009) sangat diperlukan kepemimpinan yang mampu mengarahkan
profesi keperawatan dalam menyesuaikan dirinya di tengah-tengah perubahan dan
pembaharuan sistem pelayanan kesehatan. Kepemimpinan tersebut seyogyanya yang fleksible, accessible, dan dirasakan
kehadirannya.
Kepemimpinan merupakan seni untuk
seorang pemimpin melayani orang lain, memberikan apa yang dimiliki untuk
kepentingan orang lain. Sebagai pemimpin, ia menempatkan dirinya sebagai orang
yang bermanfaat untuk orang lain. Dalam profesi keperawatan, belum banyak
pemimpin keperawatan yang telah memahami secara baik.
Hal tersebut karena mereka lebih memahami paradigma lama dimana setiap pemimpin yang sedang menjalankan fungsi kepemimpinannya harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang lain dan mereka merasa memiliki hak untuk dilayani. Motivational leadership sebaiknya juga harus dimiliki oleh setiap pemimpin dalam keperawatan (Tappen, 1995). Situasi saat ini dimana banyak terjadi perubahan dan juga tantangan telah memberikan kecenderungan pada para perawat pelaksana untuk lebih mudah merasa lelah dan cepat menyerah.
Untuk itulah diperlukan sosok pemimpin yang mampu secara konsisten memberikan motivasi kepada orang lain dan memiliki kualitas kunci yaitu: meliputi kemampuan akan pengetahuan dan ketrampilan (memimpin dan teknis), mengkomunikasikan ide secara efektif, percaya diri, komitmen tinggi, pemahaman tentang kebutuhan orang lain, memiliki dan mengatur energi, serta kemampuan mengambil tindakan yang dirasakan perlu untuk memenuhi kepentingan orang banyak.
Dalam mengantisipasi masa depan, pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya memerlukan kemampuan entrepreuner yang efektif termasuk didalamnya kemampuan bargaining, negosiasi, marketing, penghargaan terhadap keberadaan stakeholder internal maupun eksternal.
Seorang pemimpin keperawatan tidak akan berhasil melakukan fungsinya apabila tidak memiliki kemampuan mengatur waktu, mengendalikan stress baik yang dialaminya maupun orang lain (bawahan), dan juga mengatasi konflik yang terjadi baik internal maupun eksternal, baik individual, maupun kelompok (managing time, stress, and conflict) (Nurrachmah, 2005).
Hal tersebut karena mereka lebih memahami paradigma lama dimana setiap pemimpin yang sedang menjalankan fungsi kepemimpinannya harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang lain dan mereka merasa memiliki hak untuk dilayani. Motivational leadership sebaiknya juga harus dimiliki oleh setiap pemimpin dalam keperawatan (Tappen, 1995). Situasi saat ini dimana banyak terjadi perubahan dan juga tantangan telah memberikan kecenderungan pada para perawat pelaksana untuk lebih mudah merasa lelah dan cepat menyerah.
Untuk itulah diperlukan sosok pemimpin yang mampu secara konsisten memberikan motivasi kepada orang lain dan memiliki kualitas kunci yaitu: meliputi kemampuan akan pengetahuan dan ketrampilan (memimpin dan teknis), mengkomunikasikan ide secara efektif, percaya diri, komitmen tinggi, pemahaman tentang kebutuhan orang lain, memiliki dan mengatur energi, serta kemampuan mengambil tindakan yang dirasakan perlu untuk memenuhi kepentingan orang banyak.
Dalam mengantisipasi masa depan, pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya memerlukan kemampuan entrepreuner yang efektif termasuk didalamnya kemampuan bargaining, negosiasi, marketing, penghargaan terhadap keberadaan stakeholder internal maupun eksternal.
Seorang pemimpin keperawatan tidak akan berhasil melakukan fungsinya apabila tidak memiliki kemampuan mengatur waktu, mengendalikan stress baik yang dialaminya maupun orang lain (bawahan), dan juga mengatasi konflik yang terjadi baik internal maupun eksternal, baik individual, maupun kelompok (managing time, stress, and conflict) (Nurrachmah, 2005).
Kepemimpinan dalam keperawatan
memerlukan seseorang yang memiliki kriteria tersebut. Hal ini karena dalam
kegiatan keseharian, seorang pemimpin sangat memperhitungkan waktu bukan hanya
untuk mengatur kegiatan rutin saja, melainkan juga memperhitungkannya ketika
pengambilan keputusan penting.
Selain itu, stress kerja pada umumnya dialami banyak karyawan maupun pemimpin karena adanya tekanan dalam berbagai hal mulai dari ketersediaan waktu, keinginan menghasilkan sesuatu yang berkualitas, dan keterbatasan sumber, serta upaya melakukan sinergi positif dari berbagai latar belakang pendidikan dan kemampuan. Untuk itu, setiap pemimpin keperawatan sebaiknya memahami konsep pengendalian stress agar dapat tetap mengarahkan orang yang dipimpinnya ke arah produktifitas yang tinggi
Selain itu, stress kerja pada umumnya dialami banyak karyawan maupun pemimpin karena adanya tekanan dalam berbagai hal mulai dari ketersediaan waktu, keinginan menghasilkan sesuatu yang berkualitas, dan keterbatasan sumber, serta upaya melakukan sinergi positif dari berbagai latar belakang pendidikan dan kemampuan. Untuk itu, setiap pemimpin keperawatan sebaiknya memahami konsep pengendalian stress agar dapat tetap mengarahkan orang yang dipimpinnya ke arah produktifitas yang tinggi
Demikian pula ketika seorang
pemimpin melihat terjadinya konflik dalam bekerja, ia sebaiknya memiliki
pengetahuan dasar tentang konflik dan pendekatan untuk menyelesaikannya tanpa
harus mengorbankan salah satu pihak yang berkonflik. Kemampuan kepemimpinan yang lainnya
melibatkan ketrampilan seorang pemimpin dalam keperawatan dalam menginisiasi perubahan/pembaharuan
secara terencana (planned change)
(Bondan,2007). Kepemimpinan dalam keperawatan memerlukan seseorang pemimpin
yang mampu membawa perubahan/pembaharuan tanpa menimbulkan kecemasan dan
ketidakpastian situasi akibat perubahan/pembaharuan tersebut.
Menurut Nurrachmah (2005) sifat kepemimpinan yang visioner dan futuristic juga sangat diperlukan dalam profesi keperawatan. Hal ini karena pemimpin yang berorientasi ke masa depan dan mengetahui pilihan masa depan yang terbaik untuk bawahannya akan mampu membawa perubahan/pembaharuan ke dalam kehidupan kerja para bawahannya dengan sebaik-baiknya melalui perencanaan yang matang dan waktu yang tepat.
Menurut Nurrachmah (2005) sifat kepemimpinan yang visioner dan futuristic juga sangat diperlukan dalam profesi keperawatan. Hal ini karena pemimpin yang berorientasi ke masa depan dan mengetahui pilihan masa depan yang terbaik untuk bawahannya akan mampu membawa perubahan/pembaharuan ke dalam kehidupan kerja para bawahannya dengan sebaik-baiknya melalui perencanaan yang matang dan waktu yang tepat.
Hal
lain yang perlu diperhatikan pula adalah kepemimpinan dalam keperawatan juga
harus dilaksanakan secara etikal karena tidak jarang pemimpin perawat
menghadapi masalah yang melibatkan keputusan etik sehingga memerlukan kerjasama
dengan pihak lain untuk menemukan solusi etik.Pengambilan keputusan yang
melibatkan kepentingan pasien dan keluarga sering menuntut pemimpin perawat
untuk membuat keputusan etik yang mempertimbangkan norma dan nilai-nilai.
Dengan kata lain, kepemimpinan dalam keperawatan melibatkan banyak aspek dan unsur yang terkait didalamnya sehingga diperlukan pemimpin yang mampu menjalankan kepemimpinannya bukan hanya mempertimbangkan aspek etik saja tetapi juga pertimbangan visi ke depan dan bagaimana mentransformasikan perubahan dan pembaharuan ke dalam kegiatan harian tanpa menimbulkan kecemasan, ketidak-pastian, dan ancaman bagi yang terlibat didalamnya serta mewujudkan perubahan itu secara terencana, bertahap, namun berhasil guna.Pemimpin seperti ini tentu harus memiliki visi masa depan yang kuat.
Pada era global saat ini dan era sesudahnya akan banyak terjadi perubahan dalam kehidupan manusia, sistem penyelenggaraan kehidupan manusia, keterbatasan sumber-sumber yang diperlukan dalam kehidupan manusia serta perkembangan ilmu dan teknologi yang tiada henti. Perubahan sikap dan perilaku sumber daya manusia dalam sistem ketenaga-kerjaan juga akan terjadi sebagai dampak dari berbagai perubahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan manusia. Berdasarkan situasi ini, maka dimasa depan diperlukan pemimpin yang handal tapi tangguh yang memiliki berbagai ketrampilan dari mulai memotivasi bawahan sampai kepada menciptakan perubahan.
Pemimpin keperawatan di masa depan juga harus mampu menciptakan nilai-nilai unggulan yang menjadi karakteristik profesi, dan menyatakan visi yang mampu menjadi inspirasi bagi orang lain. Dalam kepemimpinannya, ia juga harus mampu berbicara dan bertindak strategis sehingga dapat menimbulkan manfaat positif bagi orang yang dipimpinnya. Selanjutnya, banyaknya peluang yang berpotensi terjadi di masa depan mengharuskan pemimpin perawat menentukan arah perubahan yang besar.
Berdasarkan tantangan yang semakin besar dan kuat terhadap profesi keperawatan ke depan, maka sudah saatnya untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin perawat yang memiliki kepemimpinan yang handal. Untuk melahirkan pemimpin perawat yang baik, memerlukan, bersepakat, merubah pandangan dan cara berpikir.
Pemimpin keperawatan juga dituntut memiliki visi ke depan, responsif terhadap tantangan yang mucul dan mampu menggerakan semua sumberdaya dalam organisasi ,tidak hanya bertindak sebagai juru bicara atau pelatih dalam organisasi tetapi sebagai penentu arah bagi organisasi, dan sebagai agen perubahan dalam organisasi.
Proses membangun Profesionalitas seorang perawat tidak terlepas dari peran institusi keperawatan, dimana proses pendidikan disusun berdasarkan kerangka konsep yang kokoh yang meliputi; penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan, menyelesaikan masalah secara ilmiah, sikap dan tingkah laku profesional (Nursalam, 2005).
Dengan kata lain, kepemimpinan dalam keperawatan melibatkan banyak aspek dan unsur yang terkait didalamnya sehingga diperlukan pemimpin yang mampu menjalankan kepemimpinannya bukan hanya mempertimbangkan aspek etik saja tetapi juga pertimbangan visi ke depan dan bagaimana mentransformasikan perubahan dan pembaharuan ke dalam kegiatan harian tanpa menimbulkan kecemasan, ketidak-pastian, dan ancaman bagi yang terlibat didalamnya serta mewujudkan perubahan itu secara terencana, bertahap, namun berhasil guna.Pemimpin seperti ini tentu harus memiliki visi masa depan yang kuat.
Pada era global saat ini dan era sesudahnya akan banyak terjadi perubahan dalam kehidupan manusia, sistem penyelenggaraan kehidupan manusia, keterbatasan sumber-sumber yang diperlukan dalam kehidupan manusia serta perkembangan ilmu dan teknologi yang tiada henti. Perubahan sikap dan perilaku sumber daya manusia dalam sistem ketenaga-kerjaan juga akan terjadi sebagai dampak dari berbagai perubahan yang terjadi dalam lingkungan kehidupan manusia. Berdasarkan situasi ini, maka dimasa depan diperlukan pemimpin yang handal tapi tangguh yang memiliki berbagai ketrampilan dari mulai memotivasi bawahan sampai kepada menciptakan perubahan.
Pemimpin keperawatan di masa depan juga harus mampu menciptakan nilai-nilai unggulan yang menjadi karakteristik profesi, dan menyatakan visi yang mampu menjadi inspirasi bagi orang lain. Dalam kepemimpinannya, ia juga harus mampu berbicara dan bertindak strategis sehingga dapat menimbulkan manfaat positif bagi orang yang dipimpinnya. Selanjutnya, banyaknya peluang yang berpotensi terjadi di masa depan mengharuskan pemimpin perawat menentukan arah perubahan yang besar.
Berdasarkan tantangan yang semakin besar dan kuat terhadap profesi keperawatan ke depan, maka sudah saatnya untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin perawat yang memiliki kepemimpinan yang handal. Untuk melahirkan pemimpin perawat yang baik, memerlukan, bersepakat, merubah pandangan dan cara berpikir.
Pemimpin keperawatan juga dituntut memiliki visi ke depan, responsif terhadap tantangan yang mucul dan mampu menggerakan semua sumberdaya dalam organisasi ,tidak hanya bertindak sebagai juru bicara atau pelatih dalam organisasi tetapi sebagai penentu arah bagi organisasi, dan sebagai agen perubahan dalam organisasi.
Proses membangun Profesionalitas seorang perawat tidak terlepas dari peran institusi keperawatan, dimana proses pendidikan disusun berdasarkan kerangka konsep yang kokoh yang meliputi; penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan, menyelesaikan masalah secara ilmiah, sikap dan tingkah laku profesional (Nursalam, 2005).
Lingkungan
pelayanan kesehatan pada saat ini telah memberikan peluang pada tenaga
keperawatan untuk memperoleh status professional dengan cara proaktif berespon
terhadap kebutuhan perubahan dan harapan masyarakat (Azwar, 1996). Sebagai
kelompok pemberi pelayanan kesehatan terbesar, profesi ini telah diposisikan
untuk mempengaruhi bukan hanya perkembangan sistem tetapi juga bagaimana
praktik harus dibentuk dengan mengubah tatanan lapangan pelayanan kesehatan.
Proses yang timbal balik ini tentu saja akan mempengaruhi setiap aspek praktik
professional dan sangat tergantung dari proses kepemimpinan keperawatan yang
terjadi. Lingkungan pelayanan kesehatan pada saat ini telah memberikan peluang
pada tenaga keperawatan untuk memperoleh status professional dengan cara proaktif
berespon terhadap kebutuhan perubahan dan harapan masyarakat. Sebagai kelompok
pemberi pelayanan kesehatan terbesar, profesi ini telah diposisikan untuk
mempengaruhi bukan hanya perkembangan sistem tetapi juga bagaimana praktik
harus dibentuk dengan mengubah tatanan lapangan pelayanan kesehatan. Proses
yang timbal balik ini tentu saja akan mempengaruhi setiap aspek praktik profesional
dan sangat tergantung dari proses kepemimpinan keperawatan yang terjadi.
Para
perawat yang berada pada posisi kepemimpinan memiliki tanggung jawab yang luas
dalam arena pelayanan kesehatan. Hal ini karena lingkungan pelayanan kesehatan saat ini
memberikan banyak peluang untuk perawat memperoleh status professionalnya
dengan secara proaktif berespon terhadap kebutuhan masyarakat.
Keperawatan biasanya menjadi jelas posisinya justru karena ketidak hadirannya dalam daftar kepemimpinan nasional. Banyak masyarakat yang belum mempersepsikan pemimpin perawat memiliki kekuatan dan kekuasaan. Demikian pula sistem pelayanan kesehatan tidak berhasil untuk mengidentifikasi profesi perawat sebagai professional yang memiliki pengetahuan yang bermanfaat untuk membantu menciptakan solusi terhadap masalah kesehatan yang kompleks. Hal ini dapat dimengerti karena selama ini sesuai sejarahnya, banyak perawat yang telah menghindari peluang untuk mengemban kekuatan dan peranan politik di masa lalu.
Seiring berjalannya waktu, saat ini profesi keperawatan diharapkan mulai memahami bahwa kekuatan dan kekuasaan serta peranan politik telah menjadi salah satu faktor penentu mencapai tujuan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan dan sekaligus meningkatkan otonomi keperawatan. Oleh karena itu, ketika terjadi banyak perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan maka para pemimpin perawat harus berpartisipasi secara aktif dan proaktif untuk mencari jalan bagaimana mempengaruhi pengambil keputusan dalam sistem pelayanan kesehatan dan membuat untuk didengar suaranya oleh mereka. Para pemimpin perawat memiliki kapasitas kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan publik sepanjang mereka memiliki berbagai potensi kepemimpinan.
Keperawatan biasanya menjadi jelas posisinya justru karena ketidak hadirannya dalam daftar kepemimpinan nasional. Banyak masyarakat yang belum mempersepsikan pemimpin perawat memiliki kekuatan dan kekuasaan. Demikian pula sistem pelayanan kesehatan tidak berhasil untuk mengidentifikasi profesi perawat sebagai professional yang memiliki pengetahuan yang bermanfaat untuk membantu menciptakan solusi terhadap masalah kesehatan yang kompleks. Hal ini dapat dimengerti karena selama ini sesuai sejarahnya, banyak perawat yang telah menghindari peluang untuk mengemban kekuatan dan peranan politik di masa lalu.
Seiring berjalannya waktu, saat ini profesi keperawatan diharapkan mulai memahami bahwa kekuatan dan kekuasaan serta peranan politik telah menjadi salah satu faktor penentu mencapai tujuan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan dan sekaligus meningkatkan otonomi keperawatan. Oleh karena itu, ketika terjadi banyak perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan maka para pemimpin perawat harus berpartisipasi secara aktif dan proaktif untuk mencari jalan bagaimana mempengaruhi pengambil keputusan dalam sistem pelayanan kesehatan dan membuat untuk didengar suaranya oleh mereka. Para pemimpin perawat memiliki kapasitas kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan publik sepanjang mereka memiliki berbagai potensi kepemimpinan.
Menurut
Muninjaya (2004), seorang pemimpin keperawatan selayaknya juga dapat memahami
perubahan sistem dalam pelayanan kesehatan dan mengidentifikasi berbagai upaya
untuk mengembangkan praktik keperawatan dengan mengendalikan faktor yang
berpengaruh negatif dan meningkatkan faktor yang berpengaruh positif terhadap
praktik keperawatan.
Dengan uraian tentang transformasi
atau perubahan leadership dalam
keperawatan tersebut, diharapkan profesi keperawatan dapat melakukan perubahan
nyata, semakin berkembang, semakin diakui dan dapat memberikan dan menunjukkan
kinerja yang profesional dalam
memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna. Apabila telah ada dasar
kepemimpinan yang baik dalam profesi
keperawatan maka menurut Mulyaningsih (2011) diharapkan hal tersebut dapat
memberikan dampak terhadap seluruh hal, yaitu kepuasan terhadap pelayanan
kesehatan secara paripurna akan dapat dirasakan oleh pasien, keluarga dan juga
oleh tenaga kesehatan, khususnya perawat.
Daftar
Pustaka
Azwar,
A.1996. Menuju Pelayanan Kesehatan Yang
Lebih Bermutu. Jakarta: Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia
Badiah, A,
et all. “Hubungan Motivasi Perawat Dengan Kinerja Perawat di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Daerah Panembahan Senopati Bantul Tahun 2008”. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.Vol.12 juni 2009:75
Bondan.2007.
“Leadership Dalam Keperawatan”. Jurnal
Keperawatan & Penelitian Kesehatan Mei
2007
Mulyaningsih.2011.
“Mutu Pelayanan Kesehatan”. Jurnal Kesehatan
Gaster STIKES ‘Aisyiyah Surakarta. Vol. 8 1 Februari 2011
Muninjaya,
G. 2004. Manajemen Kesehatan.
Jakarta: EGC
Nurrachmah,E.
2005. Leadership Dalam Keperawatan. http://www.pdpersi.co.id diakses tanggal 20 Sepetember 2011
Nursalam.
2002. Manajemen Keperawatan, Aplikasi
Dalam Praktek Keperawatan Profesional.Jakarta: Salemba Medika
Purwoko, S.
1998. Kepemimpinan dan Manajemen
Keperawatan. Jakarta: EGC
Sugijati,
Sajidah, A, dan Dramawan, A. “Analisis Gaya Kepemimpinan Kepala Ruang terhadap
Kinerja Perawat Dalam Melakukan Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD
Mataram”. Jurnal Kesehatan Prima.
Vol. 2 Agustus 2008:328-329
Tappen.1995.
Nursing Leadership and Management:
Concepts & Practice. Philadelphia: F.A. Davis Company
Langganan:
Postingan (Atom)