ANALISIS PERENCANAAN STRATEGIS
DAN KEBIJAKAN
MENGATUR ROKOK,
MENCEGAH KEMISKINAN
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa apapun bentuknya,
produk-produk tembakau berbahaya bagi kesehatan. Rokok merupakan bentuk produk
tembakau yang terbanyak dikonsumsi di dunia, sehingga produk tembakau cenderung
identik dengan rokok. Rokok mengandung 4000 elemen dan 200 diantaranya sudah
terbukti merugikan kesehatan serta menimbulkan penyakit mulai dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Efek buruk kesehatan tersebut diderita baik oleh perokok itu
sendiri maupun orang-orang di sekitarnya (perokok pasif), mulai janin dalam
kandungan sampai orang dewasa. Moeloek menyebutkan rokok merupakan salah satu
faktor yang berperan dalam road map hancurnya ekonomi keluarga dan hilangnya
suatu generasi. Hingga saat ini belum ada penelitian signifikan yang melihat
keuntungan merokok bagi kesehatan. Pernah dilaporkan bahwa merokok melindungi
pemakainya dari penyakit Alzheimer, tetapi dibantah oleh penelitian lain yang mengemukakan
bahwa jarang perokok yang mencapai usia lanjut sehingga terserang Alzheimer.
Beberapa studi mencatat bahwa merokok menurunkan
insiden endometriosis pada wanita yang mengalami infertilitas, walau sudah
terbukti bahwa merokok meningkatkan angka infertilitas itu sendiri. Beberapa
penelitian mengkonfirmasi adanya hubungan terbalik antara merokok dan kejadian
penyakit Parkinson. Risiko penyakit Parkinson secara khusus rendah pada perokok
aktif dan pada mereka yang mempunyai riwayat merokok jangka panjang secara
intensif, bahkan dikatakan penurunan ini berbanding lurus dengan jumlah rokok
yang dihisap. Analisis patofisiologi hal tersebut belum jelas, dan harus ada
uji klinik acak dan kajian epidemologik dengan uji statistik yang akurat untuk
memperkuat hasil penelitian.
Dampak
Sosial Ekonomi
Dilihat dari segi ekonomi, rokok memang memberikan kontribusi
keuntungan signifikan, yaitu berupa cukai. Pada 2006 pendapatan negara dari
cukai rokok mencapai Rp 37,06 triliun. Angka ini diharapkan terus bertambah.
Tahun 2007 pemerintah memasang target pendapatan dari cukai Rp 43,54 triliun
dan tahun 2008 naik menjadi Rp 49,92 triliun. Belum lagi kontribusi dari sektor
pertanian dan tenaga kerja. Beban ekonomi akibat rokok telah dipelajari di
beberapa negara seperti Australia, Kanada, Irlandia, Hongkong,Inggris dan
Amerika Serikat. Walaupun perkiraan biaya yang didapat sangat bervariasi
tergantung faktor-faktor yang diteliti, namun beban ekonomi yang ditimbulkan
cukup signifikan, termasuk biaya kesehatan langsung maupun tidak langsung dan kerugian
akibat turunnya produktivitas. Sebagai tambahan, tempat kerja yang mengizinkan
merokok biasanya membutuhkan biaya renovasi, kebersihan dan pemeliharaan yang lebih
tinggi, serta tingginya tingkat risiko kebakaran yang mempengaruhi tingginya
premi asuransi yang harus dikeluarkan perusahaan.
Millenium
Development Goals
Kesepakatan MDGs atau Millenium Development Goals
lahir pada September tahun 2000. Kesepakatan tersebut merupakan komitmen
189 negara anggota Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) termasuk Indonesia untuk
memerangi kelaparan dan kemiskinan di seluruh dunia, meningkatkan kesehatan,
memajukan pembangunan sumber daya manusia dan mendorong kemajuan ekonomi di
negara-negara miskin di dunia. Enam dari delapan kesepakatan yang dituangkan dalam
MDGs berkaitan dengan masalah kesehatan menunjukkan pentingnya korelasi antara
kesehatan dengan upaya memerangi kemiskinan dan menjamin kelangsungan
pembangunan. MDGs meliputi:
1.
Memberantas kemiskinan dan kelaparan.
2.
Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua
3.
Mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan
4.
Menurunkan tingkat kematian anak.
5.
Meningkatkan kesehatan ibu
6.
Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain.
7.
Menjamin kelestarian lingkungan yang berkelanjutan
8.
Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
MDGs merupakan target yang harus dicapai oleh semua anggota
pada tahun 2015. Waktu yang telah berlalu begitu cepat juga memacu bahwa harus
dilakukan upaya keras dalam pencapaiannya, terutama untuk negara berkembang
seperti Indonesia. Semua faktor yang mendukung harus dioptimalkan, dan faktor
penghambat harus diminimalisasi atau bahkan dihilangkan. WHO telah menyatakan
bahwa terdapat relevansi cukup erat dari rokok sebagai salah satu penghambat
pencapaian MDGs. Dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan kelaparan (MDGs 1),
tingkat pertumbuhan ekonomi sangat berpengaruh.
Data menunjukkan bahwa justru pada negara-negara miskin
jumlah perokok lebih banyak. Pada rakyat miskin, opportunity cost dari
tembakau bisa sangat tinggi. Pada beberapa negara seperti Bulgaria, Mesir,
Indonesia, Myanmark, dan Nepal, survei tentang pengeluaran rumah tangga
menunjukkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan rendah menggunakan 5-15% dari
pendapatan bersihnya untuk tembakau. Banyak keluarga miskin yang menggunakan
lebih banyak uangnya untuk rokok daripada untuk biaya pendidikan atau
kesehatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa masyarakat miskin
cenderung mengorbankan alokasi belanja bahan kebutuhan pokok keluarga termasuk
beras, susu, telur, dan daging agar tetap mempertahankan kebiasaan merokok.
Pada 1999, proporsi belanja makanan pokok keluarga
miskin sebesar 28 persen turun menjadi 19 persen pada 2003. Pada periode yang
sama, proporsi belanja rokok keluarga miskin justru meningkat, dari 8 menjadi
13 persen.Di Bangladesh, rumah tangga dengan penghasilan kurang dari US$ 24 per
minggu merokok dua kali lebih banyak dibandingkan rumah tangga dengan
penghasilan lebih tinggi. Di negara yang sama, kelompok miskin menghabiskan
dana sepuluh kali lipat untuk rokok dibandingkan untuk pendidikan.
Di negara berkembang, industri dan perkebunan tembakau
sering kali mempekerjakan anak-anak usia sekolah. Kemiskinan dan perburuhan
anak menjadi alasan kuat untuk tidak menyekolahkan anak. Keluarga miskin juga
mengutamakan penggunaan uang untuk rokok daripada untuk pendidikan. Peningkatan
pendidikan berkaitan erat dengan perbaikan kondisi ekonomi dan kesehatan.
(MDGs
2).Gambaran kesuksesan dan rasa percaya diri bagi wanita perokok pernah
dikembangkan dalam promosi oleh perusahaan rokok. Estimasi jumlah perokok
wanita akan meningkat dari 218 juta pada tahun 2000 menjadi 259 juta pada tahun
2025. Perokok wanita mempunyai dampak yang lebih luas, karena selain terkait
dengan risiko pada dirinya, juga bayi yang dikandung, serta anggota keluarga
lain. Dalam suatu keluarga, pengetahuan, sikap, dan perilaku seorang ibu
berpengaruh besar terhadap status kesehatan keluarga (MDGs 3). Rendahnya status
gizi dan kesehatan menjadi penyebab utama tingginya kematian bayi. Penggunaan
uang untuk rokok mengurangi kepedulian terhadap kecukupan nutrisi ibu dan anak
dan pemeliharaan kesehatannya. Beberapa zat berbahaya yang terkandung dalam
rokok bisa melewati sawar darah plasenta sehingga sampai ke janin. Pengaruh
bagi kehamilan dan janin antara lain abortus spontan, gangguan persalinan, plasenta
previa, lahir mati, abruptio plasenta, dan prematuritas.Wanita perokok
atau perokok pasif juga mempunyai risiko lebih besar untuk melahirkan bayi
dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang rentan terhadap masalah kesehatan.
(MDGs 4 dan 5). Merokok meningkatkan kemungkinan
timbulnya penyakit lain pada penderita HIV/AIDS, antara lain pneumonia dan
demensia akibat AIDS. Rokok juga mempercepat TBC subklinis menjadi TBC klinis,
dengan kemungkinan kematian yang lebih tinggi. Di India, merokok mengakibatkan 50%
kematian pada penderita TBC.
(MDGs 6) Secara global, pembukaan lahan untuk
perkebunan tembakau dengan pembakaran hutan mencapai 200.000 hektar per tahun
mencapai 5% dari proses deforestasi di negara berkembang, khususnya yang
merupakan produsen besar tembakau seperti Cina, Malawi, dan Zimbabwe.
Penggunaan pestisida dalam perawatan tembakau memacu degradasi tanah, dan
industri tembakau menghasilkan sampah lebih dari 2,5 milyar kilogram per tahun.
Dalam implementasi upaya pengembang kemitraan global
untuk pembangunan (MDG 8), harus dilakukan upaya pengendalian tembakau secara
sinergi dari berbagai pihak, sehingga pembangunan kesehatan dan peningkatan
kondisi makroekonomi dapat terwujud. Beberapa studi yang didanai oleh Bank
Dunia menyimpulkan beberapa fakta penting terkait pentingnya pengendalian
tembakau seperti:
1.
Pengendalian tembakau tidak akan memicu
Pemutusan Hubungan Kerja secara massif
2.
Pajak produk tembakau akan meningkatkan
(bukan menurunkan) pendapatan pemerintah.
3.
Pajak terhadap produk tembakau tidak
akan memicu peningkatan bermakna terhadap penyelundupan tembakau
4.
Jika pemasukan dari pajak tembakau
menurun, efek positif dari menaikkan pajak produk tembakau terjadi pada rakyat
miskin yang lebih sensitif terhadap kenaikan harga dapat dianggap sebagai
keuntungan lain yang bermakna.
5.
Kenaikan biaya tembakau bagi pengguna
dapat dibenarkan, karena dianggap sebagai biaya sosial/kemasyarakatan mereka
dan kenaikan harga tersebut merupakan motivator untuk meninggalkan tembakau.
6.
Pengendalian tembakau sangat efektif dan
efisien, dan dapat diusahakan oleh setiap negara, khususnya negara miskin.
Penelitian menunjukkan bahwa penerapan model pengendalian
tembakau ini memberikan hasil cukup bermakna. Di Afrika Selatan, pengendalian
tembakau telahditerapkan sejak sekitar tahun 1990 melalui penaikan pajak, mengurangi
iklan, pembatasan merokok di tempat umum, serta melakukan promosi kesehatan.
Konsumsi tembakau menurun lebih dari 30% pada anak muda dan keluarga miskin. Pemerintah
juga mendapatkan keuntungan lebih dari dua kali lipat sebagai akibat penaikan
pajak tembakau.
Rencana Strategi Penanggulangan Rokok Efektif
Sehat adalah hak asasi manusia, begitupun hak untuk menghirup
udara bersih yang erat dengan kesehatan. Di sisi lain merokok juga hak setiap
orang tetapi melepaskan asap yang berbahaya bagi orang lain bukanlah hak
perokok, dan telah mengurangi hak orang lain untuk sehat.Terlepas dari menghakimi
perbuatan si perokok, populasi non perokok haruslah dilindungi dari bahaya asap
rokok. Beberapa rencana strategi yang direkomendasikan WHO adalah:
1.
Satu-satunya cara yang paling efektif
yaitu menghilangkan sumber polusi, dalam hal ini asap rokok, dengan menyediakan
lingkungan kerja yang 100% bebas asap rokok. Memberikan area khusus merokok
baik dengan ventilasi yang terpisah maupun tidak dengan area bebas rokok tidak
menurunkan tingkat risiko paparan asap rokok, dan hal ini sangat tidak
dianjurkan
2.
Menetapkan hukum yang menjamin tempat
kerja dan sarana publik yang tertutup 100% bebas asap rokok. Hukum harus
berlaku universal dan mengikat semua pihak. Hanya kebijakan setempat tidak
direkomendasikan karena tidak memberikan perlindungan seperti yang diharapkan.
3.
Penetapan hukum saja tidak cukup, harus
disertai pelaksanaan yang tepat dan penegakan secara adekuat.
4.
Strategi penegakan hukum terhadap
lingkungan kerja yang bebas asap rokok secara otomatis akan mempengaruhi perilaku
seseorang untuk ikut membuat lingkungan rumahnya bebas asap rokok.
Rencana Strategi Pengendalian Tembakau
FCTC (Framework Convention on Tobacco Control)
atau kerangka kerja konvensi pengendalian tembakau adalah suatu konvensi hukum
internasional dalam pengendalian masalah tembakau yang mempunyai kekuatan
mengikat secara hukum bagi negara yang meratifikasinya. Naskah FCTC yang
merupakan perjanjian global pertama tentang kesehatan masyarakat telah
disepakati oleh 192 negara anggota WHO (World Health Organization) dalam
sidang Majelis Kesehatan Dunia pada Mei 2003. FCTC harus melalui beberapa tahap
agar bisa bermanfaat bagi kesehatan manusia.
Langkah selanjutnya adalah penandatanganan oleh
negara peserta. Penandatanganan tidak otomatis mengikat negara untuk
meratifikasinya, tetapi hanya menunjukkan negara tersebut serius untuk
menentukan posisinya dengan memperhatikan isi FCTC. Batas akhir penandatanganan
adalah 29 Juni 2004.
Tahap berikutnya adalah proses ratifikasi yaitu
pemerintah dan DPR setuju untuk menindaklanjuti perjanjian yang berkaitan
sesuai konstitusi yang berlaku. Pemerintah wajib menyerahkan instrumen
ratifikasi kepada sekjen PBB. Dalam jangka waktu 1 tahun setelah perjanjian
diundangkan, akan diadakan konferensi negara anggota yang meratifikasi dengan tujuan
memonitor dan mengevaluasi penerapan perjanjian di masing-masing negara.
Selanjutnya 90 hari setelah minimal 40 negara meratifikasi, FCTC akan menjadi
hukum internasional.
Saat ini tercatat 168 negara menan-datangani FCTC dan
57 telah meratifikasinya. FCTC yang terdiri dari 11 bab dan 38 pasal berisi:
1.
Kebijakan harga dan Cukai rokok;
2.
Iklan, sponsorship dan promosi
3.
Pelabelan: peringatan kesehatan dan pernyataan yang menyesatkan
4.
Undang-undang udara bersih
5.
Pengungkapan dan pengaturan kandungan produk serta
6.
Penyelundupan
Di dunia internasional, upaya penanggulangan masalah
bahaya merokok di dunia saat ini mengalami kemajuan pesat ditandai dengan
diresmikannya FCTC tersebut menjadi hukum internasional pada tanggal 27
Februari 2005.
Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Depatemen Kesehatan,
Departemen Luar Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen
Keuangan, Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) ikut secara penuh dalam semua
perundingan FCTC dan menjadi anggota drafting committee. Yang
menimbulkan pertanyaan adalah fakta bahwa sampai saat ini Indonesia merupakan
satu-satunya negara di Asia yang tidak menandatangani FCTC sampai batas
penutupan akhir Juni 2004.Tidak seriuskah pemerintah Indonesia melindungi
warganya, khususnya generasi muda dari bahaya penyakit yang ditimbulkan akibat asap
rokok? Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi kelima di dunia. Jumlah
rokok yang dikonsumsi pada tahun 2002 sebanyak 182 milyar batang rokok setiap
tahunnya setelah Republik Rakyat China (1 697 291 milyar), Amerika Serikat (463
504 milyar), Rusia (375 000 milyar) dan Jepang (299 085 milyar). Sebanyak 60 %
kaum pria dewasa muda di Indonesia adalah perokok. Fenomena ini biasa terjadi
di negara berkembang. Di negara maju jumlah pria muda yang merokok terus
menurun hingga 30%. Hal tersebut disebabkan kesadaran yang lebih tinggi akan
dampak negatif yang ditimbulkan di masa yang akan datang.
Jika penyakit akibat rokok timbul 15-20 tahun
kemudian, bisa dibayangkan bahwa Indonesia akan kehilangan 60% produktivitas
yang seharusnya dihasilkan oleh pria dewasa. Dengan prediksi tersebut masih
sedemikian berat dan takutnyakah pemerintah Indonesia kehilangan keuntungan ekonomi
yang dianggap didapatkan dari perkembangan industri rokok di Indonesia?.
Perencanaan
Strategis Pengendalian Tembakau di Indonesia
Sebenarnya Indonesia dapat melakukan ekstensifikasi cukai,
karena selama ini cukai dipungut hanya terhadap 3 jenis barang yaitu etil
alkohol, minuman mengandung etil alkohol dan hasil tembakau. Dalam rangka
ekstensifikasi, Ditjen Bea dan Cukai mencoba memperkenalkan 12 jenis barang kena
pajak untuk mendapat masukan dari berbagai pihak. Malaysia mengenakan cukai
terhadap 14 jenis barang, Singapura 10 jenis barang, India 28 jenis barang dan
Jepang 24 jenis barang. 12 Dengan demikian, ketakutan pembatasan rokok dengan
alasan mengurangi pemasukan negara dari cukai rokok seharusnya tidak beralasan.
Penetapan peraturan Menteri Keuangan (Menkeu) No 134/PMK-04/2007
tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menkeu No 43/PMK.04/2007 tentang
penetapan harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau menjadi langkah maju
terhadap pengendalian tembakau di Indonesia. Kebijakan ini menetapkan tarif
baru cukai rokok, yang rencananya akan mulai diberlakukan mulai 1 Januari 2008.
Seperti saat rencana penaikan cukai sebelumnya, selalu terdapat reaksi keras
dari para pengusaha rokok. Alasan yang dikemukakan klise, yaitu akan memicu
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat penurunan pangsa pasar dan kemungkinan
akan dilakukannya efisiensi dengan mengurangi atau maksimal stagnasi jumlah
tenaga kerja karena akan digantikan mesin.
Kita tunggu apakah pemerintah berani merealisasikan keputusan
tersebut, mengingat selama ini telah beberapa kali dilakukan penundaan
pelaksanaan keputusan sejenis. Pemerintah telah menetapkan kebijakan nasional
berupa Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi
Kesehatan. Kebijakan tersebut seakan tidak bermakna karena kurangnya
sosialisasi dan tidak adanya sanksi hukum yang jelas bagi pelanggar. Kebijakan regional
baru ada di DKI dan Bogor antara lain mengenai pengendalian rokok di tempat
kerja di lingkungan pemerintah, pengendalian pencemaran udara dan penetapan
kawasan dilarang merokok yang disertai sanksi pidana bagi pelanggarnya.
Pemerintah terkesan ragu dalam penegakan hukumnya karena realisasi kebijakan
tersebut menimbulkan polemik di masyarakat.
Kebijakan
Pemerintah
Dari segi kesehatan, jelas bahwa produk tembakau termasuk
rokok lebih banyak memiliki efek negatif daripada positifnya. Jika ditinjau
dari segi ekonomi, pendapatan negara yang diterima dari cukai rokok meliputi
rata-rata 5% dari total APBN, tetapi sebagai perbandingan beban kesehatan yang diterima
akibat rokok mencapai 30-40 triliun, setara bahkan lebih dari cukai yang
dibayarkan oleh industri rokok. Jika dilihat dari anggaran kesehatan tahun 2006
yang hanya dialokasikan sebesar 6% dari total APBN, itupun terbagi untuk
berbagai program kesehatan pemerintah, maka biaya kesehatan akibat rokok
sebagian besar kembali ditanggung sendiri oleh rakyat.
Dari lingkup sosial, industri rokok menyediakan lapangan
kerja bagi sekitar 10 juta angkatan kerja, atau jika dilihat dari jumlah
angkatan kerja yang mencapai 100 juta tiap tahunnya, maka jumlah tersebut
mengurangi 10% pengangguran. Dilihat dari pihak buruh rokok, penghasilan mereka
rata-rata Rp 200 000 sampai 1 juta perbulan. Jika dilihat dari UMR rata-rata
pekerja di Pulau Jawa tempat industri rokok paling banyak terdapat-sekitar Rp
350 000-Rp 700 000 (terendah di Jawa Timur dan tertinggi di DKI Jakarta), maka banyak
orang tertopang hidupnya dari industri ini. Namun jika mereka digolongkan
sebagai masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah, sesuai data yang
ada rata-rata rumah tangga mereka juga menghabiskan 10% penghasilan untuk rokok
yang seharusnya dapat diutamakan penggunaannya untuk membeli makanan bergizi
dan pendidikan anak-anak. Selain itu beban kesehatan otomatis meningkat sebagai
manifestasi asap rokok yang terus mengepul di dalam rumah. Walaupun pihak
pengusaha rokok menanamkan citra yang benar dalam besarnya tenaga kerja yang
dapat diserap, bisa dipahami bahwa rokok belum dapat diklaim meningkatkan kesejahteraan
pekerja yang terlibat dalam industri ini. Industri rokok apalagi industri
raksasa merupakan aset nasional, apalagi bagi daerah/kota tempat industri
tersebut berdiri. Selain merupakan tambang emas bagi kas daerah yang bersangkutan,
pembangunan infrastruktur kota biasanya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan
pabrik tersebut.
Dampak positif lain yang diberikan adalah penciptaan
lapangan kerja, pembinaan olahraga, pemberian beasiswa pendidikan dan
penyediaan fasilitas sosial serta fasilitas umum.
Strategi pemasaran industri rokok merupakan tehnik pemasaran
tingkat tinggi. Dengan pemenuhan berbagai kebutuhan dasar sampai kebutuhan
sosial, masyarakat yang tidak tahu semakin tidak mau tahu bahaya yang mengintai
dibalik kerajaan rokok baik untuk diri sendiri maupun orangorang terdekatnya.
Tidak hanya masyarakat, pemerintah pun seakan terbuai dengan propaganda
keuntungan yang diberikan industri ini sehingga menutup mata terhadap berbagai
ancaman bagi warganya baik untuk saat ini maupun beberapa dekade ke depan.
Saat ini telah disusun RUU mengenai Pengendalian Dampak
Tembakau, namun belum menjadi agenda prioritas badan legislatif untuk dibahas
lebih lanjut. Secara umum masalah kesehatan memang masih dianggap tidak
sepenting masalah lain seperti sosial dan ekonomi yang dampaknya langsung
terlihat. Masalah tembakau dampak kesehatan, sosial dan ekonominya tidak
langsung serta baru akan tampak dalam beberapa dekade ke depan.
Keberanian pemerintah untuk memutuskan kenaikan pajak
dari rokok, direncanakan terhitung sejak Januari 2008 merupakan langkah maju.
Walaupun mendapat banyak tantangan dari pihak lain, tetapi sebaiknya terus
dilakukan edukasi baik untuk masyarakat maupun para pemangku kepentingan lain
mengenai dampak positif kebijakan ini.
Kekuatiran banyak beredarnya rokok illegal ataupun meluasnya
pemakaian pita cukai palsu dapat dihilangkan dengan pelaksanaan dan penegakan
hukum yang tepat. Berbagai studi di banyak negara menunjukkan bahwa peningkatan
pajak merupakan salah satu langkah efektif pengendalian dampak rokok, dan
ternyata tidak memberikan imbas ekonomi seperti yang ditanamkan selama ini. Hal
tersebut menjadi penguat bahwa Indonesia seharusnya lebih tegas dan berani
menerapkan kebijakan pengendalian tembakau.
Upaya promotif preventif dengan penetapan kebijakan publik
di tingkat nasional maupun daerah disertai upaya sinergi lintas sektor turut
mendukung upaya pengendalian dampak tembakau. Promosi kesehatan, dalam masalah
rokok khususnya, harus dalam bentuk yang lebih mengena ke masyarakat. Dengan
data bahwa masyarakat pedesaan ataupun masyarakat golongan bawah merupakan
pengguna terbesar tembakau maka bahasa promosi kesehatan harus disesuaikan
dengan target tersebut. Upaya kuratif rehabilitatif dilakukan dengan
sosialisasi berbagai cara mengatasi kecanduan merokok, disertai pelatihan/peningkatan
SDM untuk melakukan terapi berhenti merokok, mengingat efek adiktif nikotin
memang mempersulit berhenti merokok. Pembentukan kelas atau kelompok berhenti merokok
bisa menjadi salah satu alternatif.
Daftar
Pustaka
Chamim, M. Rokok dan Kemiskinan. Tempo Interaktif 14
Maret. Accessed 21 April 2012. Available at: http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/03/14/brk,2007031495442,id.htl.
International
Network of Women Against Tobacco.2006. Turning
A New Leaf: Women, Tobacco, and The Future. Sweden: INWAT
Katharine, ME
dan Stephen. RL. 2004. The Millennium
Development Goals and Tobacco Control. Geneve: WHO Press
Kebijakan
ekstensifikasi dan intensifikasi cukai hasil tembakau. Accessed 21 April 2012.
Available at: http://www.beacukai. go.id/library/data/Cukai2.htm.
Kenaikan cukai
rokok: buruh terancam PHK massal. Kompas 20 November 2007.
Menteri Keuangan
Republik Indonesia. Peraturan menteri keuangan no: 134/PMK.04/2007: Tentang
perubahan ketiga atas peraturan menteri keuangan nomor 43/PMK.04/2005 tentang penetapan
harga dasar dan tarif cukai hasil tembakau, 1 November 2007.
Moeloek, FA.
2006. Kebijakan Publik Yang Berdampak
Pada Kesehatan. Konferensi Nasional Promosi Kesehatan ke-4;17-21 Juli 2006;
Makasar.
World Health Organization.
2005. WHO Framework Convention on Tobacco
Control. Geneva: WHO Press
World Health
Organization. 2007. Protection From
Exposure to Second-Hand Tobacco Smoke: Policy Recommendations. Geneve:WHO
Press
World Health
Organization. 2007. World No Tobacco Day:
Smoke-Free Inside Create and Enjoy 100% Smoke-Free Environment.Geneva. WHO
Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar